Surat ini, surat untuk saudaraku yang sudah
bertahun-tahun merantau di negeri orang. Negeri yang terletak di belahan bumi
entah sebelah mana, nan jauh di sana. Rata-rata dua sampai tiga tahun kamu
melewati hari raya tanpa keluarga. Saat kembali ke kampung pun hanya sebentar
menikmati udara tanah kelahiran. Karena saat itu kamu juga memilih untuk
berangkat lagi ke negeri itu. Begitu seterusnya, sampai sekarang untuk keempat
kalinya.
Kita menginjakkan kaki di bumi yang sama dengan sedikit
perbedaan waktu. Jam di sana enam puluh menit lebih cepat daripada di sini. Kamu
pun kadang mengirim pesan via message
di waktu tengah malam hanya sekadar menanyakan kabar keluarga. Saat itu aku
sudah tidur, dan baru membuka pesan ketika bangun keesokan harinya. Sebegitu tingginya
waktu jam kerjamu, hingga tengah malam pun kau masih terjaga. Sementara aku
yang ada di sini dengan status belum bekerja sudah terlelap, melahap alam
mimpi.
‘Pahlawan Devisa’. Pekerja yang tidak membutuhkan
duduk di bangku kuliah, tapi bisa menghasilkan banyak uang. Begitulah orang
memberi julukan untuk orang yang memiliki nasib seperti kamu. Sebenarnya bukan
nasib. Tapi kamu telah memilih untuk menempuh jalan itu. Terakhir kali menempuh
jenjang sekolah terakhir, saat itu kamu diam, dan tidak berani mengutarakan
keinginan untuk melanjutkan sekolah. Kamu rela melepaskan egoisme diri karena
tidak sanggup membebani orang tua. Saat itu pula, kamu memutuskan pergi dari
rumah untuk mencari sumber penghidupan yang lebih layak.
Sekarang hidupmu sudah lebih baik dari sepuluh tahun
yang lalu. Meskipun tanganmu kasar akibat bahan kimia yang ada di sabun cuci.
Tapi kamu bisa membeli barang yang kamu mau dengan uangmu sendiri, bahkan kamu
bisa membeli barang-barang bagus untuk orang tua dan kedua adikmu. Yang lebih
mulianya lagi, kamu bisa membantu adikmu yang sekarang sedang menempuh pendidikan
tinggi. Berhasil. Kamu berhasil membuat satu perubahan dalam keluarga. Mengangkat
derajat pendidikan keluarga menjadi lebih baik. Yang dahulu rasanya mustahil
untuk ditempuh, tapi atas ijin Yang Maha Kuasa, kamu sudah mengubah anggapan
itu.
Layaknya seorang wanita kebanyakan, umurmu sudah lebih
dari cukup untuk membentuk sebuah keluarga baru. Teman-teman bermainmu pun
sudah banyak yang memiliki keluarga baru dan memiliki momongan. Tapi karena
pilihanmu itu, memilih untuk mencari pengalaman di negeri orang, kamu masih
dalam status single. Beberapa kali
orang tua memintamu untuk istirahat sejenak di rumah. Ketika itu kamu bilang,
kalau aku belum kerja, kamu tidak akan di rumah. Aku begitu tertegun mendengar
pernyataan itu. Di sisi lain juga memberi suntikan semangat agar aku cepat
menyelesaikan sekolah S1-ku.
Berbeda. Aku dan kamu memang berbeda. Kita melangkah
di jalan yang berbeda. Hidup di zaman yang berbeda. Tapi sudah jelas, kamu
sukses di jalanmu. Kamu berhasil mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Sedangkan
aku masih berharap untuk kesuksesan terbesarku terjadi suatu hari nanti. Karena
kamu, maka kesuksesanku juga untuk kamu, dan untuk keluarga. Aku tidak bisa
membayangkan andaikan jalanku seperti jalanmu. Tapi jangan. Kamu pernah bilang
kalau aku tidak boleh meniru jalanmu. Aku pun setuju. Dan aku juga tidak mau
jalan itu.
Mungkin kamu adalah salah satu semangatku untuk
terus maju. Disaat kamu sibuk mencuci atau menyapu rumah majikan, harusnya aku
sibuk memegang buku referensi, membuat karya, atau mendengarkan ceramah dosen
di kelas. Disaat kamu lembur hingga tidur tengah malam, harusnya aku juga
lembur mengerjakan tugas kuliah demi mencapai hasil yang terbaik.
Aku dan kamu sama-sama masih muda dan mempunyai
semangat yang menggebu. Aku dan kamu sama-sama berjuang demi kehidupan yang
lebih baik. Aku dan kamu sama-sama mendambakan kesuksesan agar tidak
mengecewakan orang tua. Dan sekarang, aku dan kamu sama-sama jauh dari rumah,
meskipun kamu lebih jauh ketimbang aku, dan lebih lama pergi ketimbang aku. Tapi
percayalah, aku dan kamu sebenarnya sangat dekat. Mungkin sedekat manusia
dengan pencipta-Nya.
Kamu yang pertama. Dan aku yang kedua. Kamu
mempunyai banyak pengalaman ketimbang aku. Kamu juga lebih banyak berjuang
ketimbang aku. Kadang aku malu karena tidak berjuang sebanyak seperti usia
mudamu dulu. Jujur aku ingin seperti kamu yang gigih dalam memperjuangkan nasib
baik.
Untuk kamu yang masih di negeri orang. Aku hanya
bisa memberimu senandung do’a yang selalu kupanjatkan kepada Yang Masa Kuasa. Dan
dengan harapan, semoga kamu cepat pulang dalam keadaan sehat.