Payung biru milik Mas Nanda selalu kuselipkan ke
dalam tas. Aku berpikir jika suatu saat bertemu secara kebetulan aku bisa
langsung mengembalikannya.
“Hei, kenapa lagi sih kamu. Bengong di siang bolong
begini.”
Kata-kata Andin membuyarkan lamunanku yang melayang
entah ke mana.
“Aku perhatiin, akhir-akhir ini kamu rajin bawa
payung. Padahal udah tiga hari ini nggak hujan” kata Andin sambil memandag payung
biru yang ada di dalam tasku yang terbuka.
“Buat jaga-jaga aja. Lima hari yang lalu kan
tiba-tiba hujan lebat, padahal siangnya nggak ada tanda-tanda mau hujan.”
Jelasku tanpa menyinggung tentang Mas Nanda.
“Oh ya, jangan lupa nanti sore ya. Aku pamit dulu”
“Oke, hati-hati”
Seperti yang Andin pesan, sore ini aku harus
menyetor uang apotek ke bank Mandiri. Jaraknya tidak jauh dari apotek, jadi
kuputuskan untuk jalan kaki saja. Apalagi sore begini panasnya sudah tidak
terlalu terik.
Belum sempat membuka pintu, seorang satpam dengan
tulusnya membukakan pintu untukku seperti pengunjung lainnya. Aku langsung mengisi
formulir penyetoran. Untungnya antrean tidak panjang. Hanya ada tiga orang yang
berbaris ke belakang, dan aku berada di urutan empat.
Kulihat hanya dua orang teller yang melayani, padahal oultelnya ada tiga. Outlet tengah
kosong, dan terpampang nama teller “Nanda”.
Tanda itu cukup memberiku informasi tentang Mas Nanda. Tapi sebenarnya belum
cukup. Yang kubutuhkan sekarang adalah di mana keberadaan Mas Nanda sekarang.
Apalagi outlet yang harusnya dia singgahi kosong.
“Silakan Mbak.”
Seorang teller
paling pojok mempersilakan costumer
selanjutnya untuk segera maju ke outlet. Aku pun langsung berjalan ke outlet
yang sudah tidak ada costumernya. Aku
langsung mengajukan formulir penyetoran, buku rekening, dan uang setoran milik
apotek. Bukannya memperhatikan kinerja teller,
tapi aku malah mengamati outlet sebelahnya yang tampak kosong dan sepi.
“Terimakasih dan selamat sore.” Kata teller yang melayaniku.
Selesai melakukan transaksi aku langsung keluar
melalui pintu yang sudah dibukakan oleh satpam. Dan kata-kata yang sama pun
diucapkan oleh satpam. “Terimakasih dan selamat sore.”
Saat tiba di perempatan jalan, terlihat sekerumunan
orang mengelilingi sesuatu di tengahnya. Aku pun penasaran dan mencoba
mendekati kerumunan itu. Orang-orang saling bercerita tetang alur kejadian. Salah
satu orang keluar dari kerumunan itu dan dia mengerutkan dahi sambil menutupi
hidung dan mulutnya.
“Kasihan ya dia” kata seseorang dari kerumunan itu.
Beberapa orang juga mengerumuni sepeda motor yang
sudah penyok dan kaca spionnya pecah. Jelas sekali ini adalah kecelakaan. Rasa
penasaran pun menggerakkan kakiku untuk menyelundup ke kerumunan orang. Dan
berhasil. Kulihat seorang lelaki berkemeja putih dengan dasi panjang warna
merah marun, serta sepatu hitam mengkilat. Sayang kemeja putihnya ternodai oleh
darah yang mengalir dari hidungnya. Kepalanya juga mengeluarkan darah kental
dan tercecer di jalanan. Lelaki itu. Mas Nanda terkapar tak berdaya. Dia
seperti orang yang sudah tidak bernyawa, dadanya tidak nampak berkembang
kempis.
Melihat orang yang kucari selama ini terkapar
seperti itu berhasil membuatku lemas. Rasanya aku ingin ikut terkapar seperti
Mas Nanda. Aku menjadi pusing. Suara sirine ambulan pun membuatku tambah
pusing. Tiba-tiba beberapa polisi mengusir kerumunan untuk menjaga jarak dengan
korban. Tanpa pandang bulu, polisi pun menyingkirkanku. Dan aku terjatuh di
jalan aspal.
Aku lihat tubuh Mas Nanda diangkut ke dalam ambulan.
Badanku langsung bangkit dan segera mengikuti beberapa orang yang memasukan
tubuh Mas Nanda ke dalam Ambulan. Aku mencoba untuk masuk ke ambulan, tapi
seorang polisi mencegahku.
“Maaf, Anda siapa?” tanya Pak Polisi dengan bahasa
formal.
“Pak ijinkan aku menemaninya. Aku mengenalnya. Dia
Mas Nanda. Aku sering satu bis dengannya. Terakhir bertemu dia membayar tarif
angutanku dan dia meminjamiku payung saat hujan. Dan ini payungnya. Aku ingin
mengembalikan padanya.” Jelasku panjang lebar sambil menunjukkan payung milik
Mas Nanda.
Aku memohon-mohon pada Pak Polisi sambil menangis.
Aku pun berusaha meyakinkan bahwa aku pantas menemaninya.
“Baiklah kalau begitu, ikutlah dengan kami. Dan
tolong hubungi keluarganya” pinta Pak Polisi.
Dengan keadaan Mas Nanda yang sudah kritis, pihak
rumah sakit langsung memasukannya ke ruang gawat darurat. Aku hanya bisa
menunggu di luar. Menangis dan menyesal tidak berkomunikasi atau pun berteman dengannya
sejak dulu. Dan sekarang aku bingung harus menghubungi siapa. Aku tidak punya
kontak keluarganya. Malah aku sempat terpikir wanita anggun itu.
Tiba-tiba dua orang polisi mendatangiku dan
mengabarkan bahwa pihak keluarga Mas Nanda sudah diberi tahu. Polisi pun
menyerahkan HP Samsung GT-C5180 kepadaku. Aku disuruh menunggu kedatangan
keluarga Mas Nanda.
Sambil menunggu pihak keluarga Mas Nanda, aku terus
memandangi wallpaper di HPnya. Wallpaper ini bagaikan burung merpati
yang membawa surat yang berisi kabar. Jelas sekali mereka ada hubungan. Foto
Mas Nanda dan wanita anggun itu sangat serasi. Pastilah akan mengundang rasa
iri bagi setiap orang yang melihatnya. Pesan satu jam yang lalu pun mengundang
rasa penasaranku. Aku hanya perlu memastikan bahwa pesan ini dari wanita anggun
itu.
Tanpa sengaja jari ibuku menekan tombol open. Dan terbukalah pesan yang seharusnya
dibuka oleh Mas Nanda.
Mas, aku udah
pulang di rumah ibu. Cepat pulang ya, aku kangen.
From: My Diana
13 Mei 2014
15:21
Isi pesan itu membuatku terharu. Mas Nanda berkendara
dalam keadaan pulang ke rumah dan ingin menemui kekasihnya. Dia akan membasuh
rasa rindu dengan keluarga. Tapi apa yang terjadi? Mengapa harus terjadi pada
orang sebaik Mas Nanda?
Seorang wanita dan pria paruh baya berjalan
terburu-buru ke arahku. Di belakangnya diikuti oleh kekasihnya. Mbak Diana
maksudku. Aku segera mengusap air mata yang mengalir di pipiku dan segera
berdiri untuk menyambut bapak dan ibu Mas Nanda.
“Raiya, kenapa Nanda harus mengalami kejadian ini”
keluh Bu Surti sambil memegangi kedua pundakku.
“Mas Nanda sedang ditangani dokter di dalam. Optimis
saja Bu, Mas Nanda tidak apa-apa” kataku berusaha menenangkan seorang ibu yang
sedang khawatir dengan keadaan putra kesayangannya.
“Amiin. Trimakasih ya sudah menemani Nanda.”
“Oh ya, ini HPnya Mas Nanda. Tadi polisi yang ngasih
ke aku.” Kataku sambil menyodorkan HP. “Oh ya, karena kalian sudah di sini,
Raiya pamit pulang dulu ya Bu, Pak, dan Mbak Diana” lanjutku untuk pamit
pulang. Aku merasa tugasku sudah cukup sampai di sini.
Sebelum aku beranjak pergi dari rumah sakit, aku
memanggil Mbak Diana dari jarak lima langkah. Dia pun mencoba mendekatiku.
“Mbak Diana ingat aku kan? Kita pernah perjumpa dua
kali, dan ini yang ketiga.” Kataku datar.
“Aku ingat, di depan rumah Mas Nanda dan di apotek
kan?” katanya dengan nada tenang.
“Aku mau balikin payung Mas Nanda sama uang tiga
ribu. Terakhir bertemu di bis, dia meminjami dua barang itu. Tolong sampaikan
terimakasihku” jelas dan pintaku pada Mbak Diana.
“Tentu saja. Dan aku juga sangat berterima kasih
sama Mbak Raiya” tuturnya sambil memasang senyum tipis di wajahnya.
Rasanya lega sekali sudah bisa berhadapan dengan
Mbak Diana tanpa ada rasa curiga dan tanpa gemetaran. Dia wanita yang lemah
lembut dan pantas mendampingi orang baik seperti Mas Nanda. Meskipun Mas Nanda
tidak tahu kalau aku sempat menemaninya, setidaknya dia tahu bahwa payungnya
sudah kembali.
(Selesai)