Look at to Your Umbrella (2)



Hari ini aku berniat mengembalikan payung dan uang sejumlah tiga ribu untuk mengganti membayar tarif bis. Aku sengaja berangkat seperti biasanya di mana aku bisa bertemu Mas Nanda lagi. Nampaknya masih banyak kursi kosong. Bis pun masih menunggu penumpang lain untuk mengisi kursi yang masih kosong. Lima menit kemudian seorang penumpang menduduki kursi di depanku. Dan tak lama kemudian datang dua penumpang sekaligus yang nampaknya sangat aku kenal. Mereka pemilik warung kecil di mana aku biasa membeli mie instant. Dan seperti biasa, aku selalu terlambat menyapanya, jadi mereka yang menyapaku terlebih dulu.

Sepuluh menit telah berlalu. Aku semakin pesimis tidak bisa bersamanya lagi pagi ini. Harapanku pulang nanti bisa bertemu. Namun begitu aku naik bis jam aku pulang, Mas Nanda tidak ada di bis itu. Mungkin memang hari ini sudah ditakdirkan untuk tidak bertemu. Aku semakin berharap saja besok pagi bisa bertemu dengannya. 

Apa aku harus berkunjung ke rumahnya?

Aku berhenti sejenak di pertigaan gang kecil di mana Mas Nanda berbelok ke arah sana. Tanpa berpikir lebih lama lagi. Kakiku memutuskan untuk berjalan menuju rumah Mas Nanda. Sampailah aku di depan rumah bercat kuning muda. Halaman rumah itu ditumbuhi rumput hijau secara rapi. Nampak tidak ada orang yang akan menyambutku untuk masuk. Rumahnya terlihat sepi.

Mungkin lain kali saja.

Aku pun mengurungkan niat untuk berkunjung ke rumah Mas Nanda. Aku berbelok untuk pulang ke rumah. Belum sempat aku melangkankan kaki, terlihat seorang wanita berjalan ke arahku. Parasnya sangat cantik. Postur tubuhnya sangat proposional seperti model. Gaya berpakainnya juga rapi. Blus, celana hitam, dan sepatu fantofel berhak membuat penampilannya seperti pegawai kantoran. 

Aku sangat terpesona dengan keanggunannya sampai aku tidak sadar kalau wanita itu sudah berlalu. Saat aku menoleh ke belakang, wanita itu sudah berada di depan pintu rumah Mas Nanda. Pintu pun terbuka, dan wanita paruh baya tampak ramah menyambut wanita anggun itu. Ternyata rumah itu tidak sesepi yang aku kira. Ibu Mas Nanda ada di sana, dan entah siapa lagi yang ada di dalam.

Payung warna biru laut itu terus kupandangi. Otak pun terus berpikir tentang keberadaan Mas Nanda. Dan tentang wanita yang tadi, aku pun terus memikirkannya. 

Apa hubungan mereka? Mungkinkah hanya saudara jauh?

Mataku semakin tak kuasa untuk terus terjaga. Aku pun terlelap. Payung Mas Nanda terus menjadi saksi kegalauanku.

***

Tiga hari ke depan masih sama saja. Berangkat dengan bis tanpa kehadiran Mas Nanda. Wajahku tampak kecewa dan murung. Mungkin karena aku terlalu berharap.

“Pagi-pagi kok wajah ditekuk begitu” goda Andin, salah satu teman kerja di apotek ini.

“Rasanya kecewa aja, berharap bisa satu bis dengan seseorang tapi sudah empat hari ini dia nggak muncul” keluhku sambil menghela napas panjang.

“Oh, Si Mas Nanda itu. Emang kenapa sih sekarang kamu peduli banget sama dia. Jadilah Raiya yang dulu, nggak pernah mikirin Mas Nanda” kata Andi mencoba memberi nasihat.

“Mungkin kamu benar, lagian aku nggak pernah komunikasi sama dia”

“Nah gitu dong. Tuh ada pengunjung cewek, layanin buruan dari pada murung mulu” perintah Andin sambil menunjuk ke arah pengunjung dengan wajah yang tirus.

Aku segera menuju pengunjung itu. Dan.. Ya Tuhan. Wanita ini lagi…

Jantungku semakin berdegup kencang ketika harus berhadapan dengannya. Saat ku amati dengan jarak dekat ternyata dia memang cantik. Bedanya, sekarang dia mengenakan kacamata ber-frame penuh.

“Ini mbak resep dokternya” katanya dengan suara lembut. Kertas kecil dengan coretan tinta pun disodorkan dengan tangan kanannya. Sikapnya pun tampak tenang.

Aku mengambil kertas itu sambil masih tetap memandang wajahnya. Justru aku agak gemetaran sehingga kertas yang kuambil tampak bergerak. Aku membaca resep itu dengan teliti. Lalu segera mencari obat yang dimaksud oleh tulisan dokter. Obat tetes mata dan pil vitamin mata.

Pantas saja pake kacamata. Ada apa dengan matanya?

“Dengan Mbak Diana ya…” tanyaku untuk memastikan nama yang ada di resep dokter itu benar. Kulihat dia hanya mengangguk pelan dan anggun.

Tak kusangka aku masih gemetaran ketika harus menulis faktur pembelian. Tulisanku jadi tidak seperti biasanya. Berantakan dan coretannya seperti cakar ayam.

Setelah selesai aku segera mengemas obat beserta fakturnya. Lalu menyodorkannya ke wanita itu.

“Delapan puluh ribu” kataku dengan nada dingin.

Saat dia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya kulihat ada foto dua orang sedang bersama. Tampat itu adalah foto dirinya dengan seorang pria, tapi entah siapa aku tidak bisa melihat dengan jelas.

Dia memberiku uang pas sehingga tidak perlu berlama-lama lagi untuk saling berhadapan. Setelah kuterima uang pembayaran, wanita itu langsung pergi tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Baguslah kalo begitu.

Tak lama setelah wanita itu tak terlihat lagi, badanku kembali normal. Tidak gemetaran lagi. Tapi wanita itu berhasil membuatku berpikir keras tentang hubungan apa yang dia jalin dengan Mas Nanda.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini