Waktu
menunjukkan pukul 07.45. Dengan tergesa-gesa aku menuju bis yang sudah dari
tadi nge-tem menunggu penumpang.
Masih tersisa satu kursi kosong di bagian belakang. Tanpa banyak berpikir aku
langsung menduduki kursi itu sebelum didahului penumpang lain. Dengan muka acuh
aku melewati beberapa penumpang yang sudah merasa nyaman dengan kursi yang
mereka duduki. Seorang pria berpakaian rapi khas orang kantoran sepertinya
memperhatikan aku. Nampak dia ingin menyapaku tapi mengurungkannya karena
sikapku yang tak acuh.
Seorang
wanita paruh baya berbadan gemuk di sebelahku terlihat mengambil beberapa
lembar uang dari dompet kumalnya, lalu dia bersiap-siap untuk bangkit dari
kursi. Jarak antar kursi tidak memungkinkan dia untuk keluar dari kursi dengan
lancar. Mau tak mau aku juga turut bangkit dari dudukku dan akhirnya harus
berdiri sambil berpegangan. Begitu wanita itu turun, seorang penumpang di
sebelah aku berdiri menyuruhku untuk
duduk lagi. Aku hanya senyum sambil mengangguk, tapi tetap berdiri di
sebelahnya.
Tak
lama kemudian pria yang tadi memperhatikan aku juga turut berdiri, aku rasa dia
akan memberikan tempat duduknya padaku. Tapi dia hanya diam dan menyalip
berdiri di depanku, lalu segera menyodorkan uang sejumlah tiga ribu pada kenek
bis. Dia biasanya turun di depan bank.
“Mbak,
kalau nggak mau duduk silakan duduk di tempat mas yang tadi, daripada
menghalangi jalan” kata salah seorang penumpang pria yang duduk di belakang
dekat jendela.
Aku
pun tidak menggubris perintah pria itu karena sebenta lagi aku turun. Tak lama
kemudian aku mendekat ke kenek bis untuk siap-siap turun.
“Depan
apotek ya Mas” kataku cuek.
Kenek
itu mengetuk kaca bis dua kali dengan uang logam. Berkali-kali aku naik bis
ini, jadi keneknya sudah paham aku harus berhenti di mana. Bis pun berhenti
tepat di tempat yang aku maksud.
Tak
terasa hari sudah sore. Nampak awan abu-abu sedang mengundang hujan. Aku pun
buru-buru keluar dari apotek dan langsung stay
menunggu bis yang lewat. Lima menit telah berlalu, namun bis tujuanku tak
kunjung lewat juga. Bunyi petir yang terdengar bergemuruh sukses membuatku
tambah khawatir akan turun hujan. Mataku pun dengan tajam mengamati setiap
identitas bis yang lewat. Dua, tiga bis yang barusan lewat bukan tujuanku
semua.
Dari
arah lima meter tampak bis yang sangat aku kenal, bisnya bercat biru muda
dengan kaca bening yang bertuliskan “Buana Indah”. Itu bis yang tadi pagi aku
tumpangi. Begitu bis berhenti kenek langsung membukakan pintu depan bagian
supir. Aku paham maksudnya, semua kursi di gerbong belakang sudah penuh. Saat
pintu telah ditutup aku baru sadar kalau penumpang di sebelahku adalah pria
yang tadi turun di depan bank.
“Baru
pulang, Dek?” tanyanya dengan ramah.
“Iya…”
kataku sambil tersenyum dan sedikit mengangguk. Rasanya tidak enak hati saja
ketika Mas Nanda harus menyapaku terlebih dulu. Tetangga satu RT yang jarang ku
sapa, padahal kita sering bertemu di jalan maupun di bis. Seperti sekarang ini.
Tidak ada obrolan maupun basa-basi. Hanya suara mesin bis dan suara hujan yang
berhasil menjaga jarak antara dua penumpang yang saling kenal tapi malas
berbicara.
Aku
sangat bersyukur gang menuju rumah sudah terlihat. Meskipun masih hujan tapi
aku sudah tidak sabar untuk turun bis. Sudah cukup aku dibayangi rasa tidak enak
seperti ini.
“Turun
gang depan ya, Pak” kata Mas Nanda sambil mengarahkan telunjuknya ke gang yang
dimaksud. Lalu dia memberi sejumlah uang pada supir. “Dua ya, Pak” katanya
lagi.
Bis
berhenti tepat di depan gang. Aku pun langsung membuka pintu dan langsung
keluar sambil memayungi kepala dengan telapak tanganku. Mas Nanda mengikutiku
sambil memayungi kepala dengan tas kantornya. Hujan yang masih deras membuatku
berteduh di depan rumah seorang warga komplek perumahan. Aku mengelap baju yang
kukenakan yang sudah lumayam basah. Begitu pula Mas Nanda, dia mengelap jaket
yang dikenakan sekaligus tas yang tadi digunakan untuk memayungi kepalanya.
Rasanya
sial sekali hujan-hujan begini malah tidak membawa payung. Akhirnya kuputuskan
untuk menunggu hujan agak reda. Ku perhatikan Mas Nanda masih sibuk mengelap
tasnya, kemudian dia mengeluarkan payung lipat warna merah maroon. Dan yang tak
kusangka dia menyodorkan payungnya padaku. Aku hanya diam dan bingung. Lalu aku
menoleh ke arahnya, aku sempat menatap matanya sebelum dia akhirnya membuka
pembicaraan lagi.
“Hujan
seperti ini biasanya lama redanya, pake saja payungnya” kata Mas nanda, dengan
payung masih disodorkan padaku.
“Lalu
Mas Nanda gimana?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Aku
mah gampang, pake saja” tanggapnya dengan nada enteng.
“Oh
gitu, aku pake ya...” kataku sambil menerima payung yang tadi disodorkan Mas
Nanda. Aku tak langsung membuka tali payungnya, tapi masih saja berdiam diri.
Tanpa
kusadari Mas Nanda sudah siap untuk menerjang hujan. Dia memasukkan tas ke dalam
jaket yang dikenakannya. Jaketnya terlihat menggelembung dan nampak lebih besar
dari ukuran badan. Ditambah lagi dia menggunakan kerudung jaket untuk
melindungi kepala dari terpaan hujan.
“Duluan
ya, Dek” katanya sambil berlalu dihadapanku. Mas Nanda berlari sambil agak
membungkukkan badan. Meskipun begitu badannya bisa saja basah kuyub sampai di
rumah.
Aku
pulang dengan payung yang dipinjami Mas Nanda. Ketika kutengok gang yang menuju
rumahnya, dia sudah tidak terlihat. Rumahnya memang lebih dekat dengan gang
utama dibandingkan dengan rumahku.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar