Look at to Your Umbrella (3)





Payung biru milik Mas Nanda selalu kuselipkan ke dalam tas. Aku berpikir jika suatu saat bertemu secara kebetulan aku bisa langsung mengembalikannya.

“Hei, kenapa lagi sih kamu. Bengong di siang bolong begini.” 

Kata-kata Andin membuyarkan lamunanku yang melayang entah ke mana. 

“Aku perhatiin, akhir-akhir ini kamu rajin bawa payung. Padahal udah tiga hari ini nggak hujan” kata Andin sambil memandag payung biru yang ada di dalam tasku yang terbuka.

“Buat jaga-jaga aja. Lima hari yang lalu kan tiba-tiba hujan lebat, padahal siangnya nggak ada tanda-tanda mau hujan.” Jelasku tanpa menyinggung tentang Mas Nanda.

“Oh ya, jangan lupa nanti sore ya. Aku pamit dulu”

“Oke, hati-hati”

Seperti yang Andin pesan, sore ini aku harus menyetor uang apotek ke bank Mandiri. Jaraknya tidak jauh dari apotek, jadi kuputuskan untuk jalan kaki saja. Apalagi sore begini panasnya sudah tidak terlalu terik.

Belum sempat membuka pintu, seorang satpam dengan tulusnya membukakan pintu untukku seperti pengunjung lainnya. Aku langsung mengisi formulir penyetoran. Untungnya antrean tidak panjang. Hanya ada tiga orang yang berbaris ke belakang, dan aku berada di urutan empat.

Kulihat hanya dua orang teller yang melayani, padahal oultelnya ada tiga. Outlet tengah kosong, dan terpampang nama teller “Nanda”. Tanda itu cukup memberiku informasi tentang Mas Nanda. Tapi sebenarnya belum cukup. Yang kubutuhkan sekarang adalah di mana keberadaan Mas Nanda sekarang. Apalagi outlet yang harusnya dia singgahi kosong.

“Silakan Mbak.”

Seorang teller paling pojok mempersilakan costumer selanjutnya untuk segera maju ke outlet. Aku pun langsung berjalan ke outlet yang sudah tidak ada costumernya. Aku langsung mengajukan formulir penyetoran, buku rekening, dan uang setoran milik apotek. Bukannya memperhatikan kinerja teller, tapi aku malah mengamati outlet sebelahnya yang tampak kosong dan sepi.

“Terimakasih dan selamat sore.” Kata teller yang melayaniku.

Selesai melakukan transaksi aku langsung keluar melalui pintu yang sudah dibukakan oleh satpam. Dan kata-kata yang sama pun diucapkan oleh satpam. “Terimakasih dan selamat sore.”

Saat tiba di perempatan jalan, terlihat sekerumunan orang mengelilingi sesuatu di tengahnya. Aku pun penasaran dan mencoba mendekati kerumunan itu. Orang-orang saling bercerita tetang alur kejadian. Salah satu orang keluar dari kerumunan itu dan dia mengerutkan dahi sambil menutupi hidung dan mulutnya.

“Kasihan ya dia” kata seseorang dari kerumunan itu.

Beberapa orang juga mengerumuni sepeda motor yang sudah penyok dan kaca spionnya pecah. Jelas sekali ini adalah kecelakaan. Rasa penasaran pun menggerakkan kakiku untuk menyelundup ke kerumunan orang. Dan berhasil. Kulihat seorang lelaki berkemeja putih dengan dasi panjang warna merah marun, serta sepatu hitam mengkilat. Sayang kemeja putihnya ternodai oleh darah yang mengalir dari hidungnya. Kepalanya juga mengeluarkan darah kental dan tercecer di jalanan. Lelaki itu. Mas Nanda terkapar tak berdaya. Dia seperti orang yang sudah tidak bernyawa, dadanya tidak nampak berkembang kempis.

Melihat orang yang kucari selama ini terkapar seperti itu berhasil membuatku lemas. Rasanya aku ingin ikut terkapar seperti Mas Nanda. Aku menjadi pusing. Suara sirine ambulan pun membuatku tambah pusing. Tiba-tiba beberapa polisi mengusir kerumunan untuk menjaga jarak dengan korban. Tanpa pandang bulu, polisi pun menyingkirkanku. Dan aku terjatuh di jalan aspal. 

Aku lihat tubuh Mas Nanda diangkut ke dalam ambulan. Badanku langsung bangkit dan segera mengikuti beberapa orang yang memasukan tubuh Mas Nanda ke dalam Ambulan. Aku mencoba untuk masuk ke ambulan, tapi seorang polisi mencegahku.

“Maaf, Anda siapa?” tanya Pak Polisi dengan bahasa formal.

“Pak ijinkan aku menemaninya. Aku mengenalnya. Dia Mas Nanda. Aku sering satu bis dengannya. Terakhir bertemu dia membayar tarif angutanku dan dia meminjamiku payung saat hujan. Dan ini payungnya. Aku ingin mengembalikan padanya.” Jelasku panjang lebar sambil menunjukkan payung milik Mas Nanda.

Aku memohon-mohon pada Pak Polisi sambil menangis. Aku pun berusaha meyakinkan bahwa aku pantas menemaninya.

“Baiklah kalau begitu, ikutlah dengan kami. Dan tolong hubungi keluarganya” pinta Pak Polisi.

Dengan keadaan Mas Nanda yang sudah kritis, pihak rumah sakit langsung memasukannya ke ruang gawat darurat. Aku hanya bisa menunggu di luar. Menangis dan menyesal tidak berkomunikasi atau pun berteman dengannya sejak dulu. Dan sekarang aku bingung harus menghubungi siapa. Aku tidak punya kontak keluarganya. Malah aku sempat terpikir wanita anggun itu. 

Tiba-tiba dua orang polisi mendatangiku dan mengabarkan bahwa pihak keluarga Mas Nanda sudah diberi tahu. Polisi pun menyerahkan HP Samsung GT-C5180 kepadaku. Aku disuruh menunggu kedatangan keluarga Mas Nanda. 

Sambil menunggu pihak keluarga Mas Nanda, aku terus memandangi wallpaper di HPnya. Wallpaper ini bagaikan burung merpati yang membawa surat yang berisi kabar. Jelas sekali mereka ada hubungan. Foto Mas Nanda dan wanita anggun itu sangat serasi. Pastilah akan mengundang rasa iri bagi setiap orang yang melihatnya. Pesan satu jam yang lalu pun mengundang rasa penasaranku. Aku hanya perlu memastikan bahwa pesan ini dari wanita anggun itu.

Tanpa sengaja jari ibuku menekan tombol open. Dan terbukalah pesan yang seharusnya dibuka oleh Mas Nanda. 

Mas, aku udah pulang di rumah ibu. Cepat pulang ya, aku kangen.
From: My Diana
13 Mei 2014 15:21

Isi pesan itu membuatku terharu. Mas Nanda berkendara dalam keadaan pulang ke rumah dan ingin menemui kekasihnya. Dia akan membasuh rasa rindu dengan keluarga. Tapi apa yang terjadi? Mengapa harus terjadi pada orang sebaik Mas Nanda?

Seorang wanita dan pria paruh baya berjalan terburu-buru ke arahku. Di belakangnya diikuti oleh kekasihnya. Mbak Diana maksudku. Aku segera mengusap air mata yang mengalir di pipiku dan segera berdiri untuk menyambut bapak dan ibu Mas Nanda. 

“Raiya, kenapa Nanda harus mengalami kejadian ini” keluh Bu Surti sambil memegangi kedua pundakku.
“Mas Nanda sedang ditangani dokter di dalam. Optimis saja Bu, Mas Nanda tidak apa-apa” kataku berusaha menenangkan seorang ibu yang sedang khawatir dengan keadaan putra kesayangannya.

“Amiin. Trimakasih ya sudah menemani Nanda.”

“Oh ya, ini HPnya Mas Nanda. Tadi polisi yang ngasih ke aku.” Kataku sambil menyodorkan HP. “Oh ya, karena kalian sudah di sini, Raiya pamit pulang dulu ya Bu, Pak, dan Mbak Diana” lanjutku untuk pamit pulang. Aku merasa tugasku sudah cukup sampai di sini. 

Sebelum aku beranjak pergi dari rumah sakit, aku memanggil Mbak Diana dari jarak lima langkah. Dia pun mencoba mendekatiku.

“Mbak Diana ingat aku kan? Kita pernah perjumpa dua kali, dan ini yang ketiga.” Kataku datar.

“Aku ingat, di depan rumah Mas Nanda dan di apotek kan?” katanya dengan nada tenang.

“Aku mau balikin payung Mas Nanda sama uang tiga ribu. Terakhir bertemu di bis, dia meminjami dua barang itu. Tolong sampaikan terimakasihku” jelas dan pintaku pada Mbak Diana.

“Tentu saja. Dan aku juga sangat berterima kasih sama Mbak Raiya” tuturnya sambil memasang senyum tipis di wajahnya.

Rasanya lega sekali sudah bisa berhadapan dengan Mbak Diana tanpa ada rasa curiga dan tanpa gemetaran. Dia wanita yang lemah lembut dan pantas mendampingi orang baik seperti Mas Nanda. Meskipun Mas Nanda tidak tahu kalau aku sempat menemaninya, setidaknya dia tahu bahwa payungnya sudah kembali.
 (Selesai)

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini