Analogi Kupu-Kupu dalam Novel "Ranah 3 Warna" Karya A. Fuadi





Ranah 3 Warna adalah novel kedua dari trilogi novel Negeri 5 Menara. Cerita utama tetap terfokus pada Alif anak pesantren yang mempunyai cita-cita setinggi langit, yaitu ingin pergi ke Amerika. Perjuangan Alif bermula saat ia lulus dari sekolah pondok pesantren, lalu kenekadannya daftar Perguruan Tinggi Negeri, yang akhirnya diterima di Universitas Padjajaran jurusan Hubungan Internasional. Serta kehidupannya menjadi mahasiswa yang keadaan ekonominya serba pas-pasan. Hingga perjuangannya meraih cita-cita untuk pergi ke Amerika dengan mengikuti program student exchange


Di sela-sela kisah perjuangan Alif, A. Fuadi menganalogikan kesuksesan/ keberhasilan dengan seekor kupu-kupu.


“Kupu-kupu terbang dengan lincah ke sana kemari. Mempesona karena keindahan warnanya. Tapi dia awalnya seekor ulat yang buruk rupa dengan prestasi tertinggi memanjat ranting. Namun ulat tidak puas dengan prestasi itu. Setelah mengumpulkan semua bekal, dia mengasingkan diri, dan bertapa lama dalam kepompong. Mengolah dirinya menjadi lebih baik.

Setelah merasa cukup di di masa pengasingan, dia berjuang keras merobek kepompongnya yang liat. Pelan-pelan dia meregangkan badannya. Sayap yang basah dan ringkih dikepak-kepakkan sehingga menjadi kering dan kuat. Dia hidup udara untuk menguatkan badannya. Dulu hanya merayap ranting, kini terbang bebas ke angkasa. Dulunya ulat yang lemah dan jelek, kini jadi kupu-kupu bersayap indah. Sesuatu itu bisa indah pada waktunya.”

Dalam hidup berusahalah untuk mencapai sesuatu yang luar biasa setiap tiga sampai lima tahun. Konsistenlah selama itu, maka insyaallah akan ada terobosan prestasi yang tercapai. Bukankah kesuksesan/ keberhasilan itu memang mmebutuhkan totalitas dalam berusaha, bekerja keras, dan berdo’a?

Selama berproses pun seseorang harus bersabar untuk menghadapi setiap ujian dan cobaan. Seperti halnya quots Alif pada kertas lusuh yang terselip di dompetnya, “Man Shabara Zafira” artinya, siapa yang bersabar akan beruntung.  Maksudnya bahwa pertolongan Allah akan datang pada hamba-Nya yang senantiasa bersabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Dan Allah memang selalu bersama orang-orang yang sabar.

Seorang dosen yang sangat memotivasiku juga pernah memberi nasihat, “sisihkanlah dari sebagian waktu yang kamu miliki untuk menekuni hal yang paling ingin kamu capai dalam hidup.”
                                                                                                                             
That’s very motivating me… Sekian

Energi (2)



Aeda yang sudah frustasi dan buntu. Namun energi yang dimiliki lebih besar dari frustasinya itu. Bahkan harapan pun muncul lagi di wajah pucat Aeda yang pagi tadi belum sarapan. Kurang dari dua jam, Aeda dan Sam sudah sampai di Jalan Salemba Raya. Di hadapan mata mereka berdiri gedung berlantai sepuluh, sampai-sampai kepala mereka mendongak di balik jendela mobil.

“Aku tidak yakin kalau ini gedung perpustakaan. Berapa koleksi yang mereka miliki?” Sam mengutarakan rasa penasarannya yang tidak perlu dijawab Aeda. Mereka sama-sama belum pernah memasuki gedung Perpustakaan Nasional.

“Semakin besar gedungnya, maka semakin besar pula kesempatan untuk menemukan karya Lambang Soebagyo.” Aeda percaya dengan perkataan yang baru diungkapkan itu.

Di dalam perpustakaan, seorang bapak tua berpakaian rapi menyambut mereka dengan senyuman ramah. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?”

Aeda mengangguk, “Kami sedang mencari karya Lambang Soebagyo. Kami kemari karena mendapat rujukan dari pihak Perpustakaan Daerah.”

Bapak tua itu menyuruh mereka menunggu, sementara penelusuran sedang dilakukan. Tak ada sepuluh menit, bapak tua itu kembali lagi tanpa membawa buku apa pun. Si bapak tua kembali bergabung dengan Aeda dan Sam. Entah berita buruk atau sebuah pencerahan, yang jelas bapak tua memberi banyak informasi mengenai karya Lambang Soebagyo. Fakta telah membuktikan bahwa karya itu pernah dimiliki oleh perpustakaan. Bahkan masih terdaftar di buku induk perpustakaan, dengan catatan buku itu telah diserahkan ke pihak hukum karena dilarang beredar.

Karya Lambang Soebagyo adalah sebuah kesalahan besar bagi sebuah keluarga konglomerat bisnis. Kisahnya yang sangat nyata membuat sebuah keluarga menjadi tersinggung. Semua bermula dari api cinta yang membuat seorang Lambang Soebagyo jatuh cinta pada salah satu anggota keluarga si konglomerat bisnis. Namun perbedaan status melarang mereka untuk saling mencintai. Dan perjalanan memperjuangkan cintanya pun ia tuangkan dalam sebuah karya.

Aeda dan Sam termenung mendengar sebagian kisah klasik yang diceritakan oleh Si bapak tua. Kisahnya berakhir menggantung. Namun kehidupan Lambang Soebagyo yang berujung seperti kisah Romeo dan Juliet itu cukup membuat hati Aeda bergetar.

“Peredaran karyanya tidak terlalu luas. Dan sebenarnya karya itu tidak pernah diterbitkan oleh penerbit mana pun,” jelas Si bapak tua.

“Lantas?” Aeda terheran.

Self publishing. Seseorang dapat menerbitkan sebuah karya tanpa melalui penerbit. Dan karya itu dapat beredar setelah mendapat nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional.”

Si bapak tua kembali ke meja kerja setelah Aeda tidak memberi pertanyaan lagi.

Mendadak Aeda merasa buntu. Buku yang dicari sudah dimusnahkan. Selamanya Aeda tidak akan pernah membaca keseluruhan karya klasik Lambang Soebagyo. Sekarang yang Aeda pikirkan adalah pria tua yang dijumpai di toko. Dalam benaknya Aeda bertanya untuk apa si pria tua itu memberi tantangan yang tidak mungkin Aeda lakukan. Apa hanya gurauan? Tidak. Orang cerdas dan berilmu tidak bertutur tanpa tujuan.

Sekali lagi Sam harus membujuk Aeda untuk keluar dari perpustakaan, sekaligus untuk mengakhiri pencarian karya yang telah musnah sejak lima belas tahun lalu. Tak ada kata tanya lagi yang disampaikan Aeda, kecuali dalam hatinya yang masih merasa ganjil.

Di meja baca pengunjung, sebuah koran dengan salah satu headline-nya telah menarik perhatian Aeda. 

PUTRI LAMBANG SOEBAGYO RELA MENULIS DAN
MENDONGENG TANPA DIBAYAR

Aeda langsung menyambar Koran Harian kota Jakarta itu. Dalam sekejap tangannya langsung membuka halaman selanjutnya yang memuat berita yang telah menggunggah hatinya. Dari berita itu Aeda mendapat harapan baru lagi.

“Semua telah berakhir. Pengarangnya sudah tidak ada. Kamu tidak berpikir untuk menemuinya, kan?” Sam berusaha mengusik Aeda.

“Berhentilah menemaniku kalau kamu sudah merasa capek,” jawab Aeda tanpa melepaskan matanya dari berita koran.

Sam tidak berkomentar lagi. Ia hanya menurut saat Aeda memutuskan untuk melanjutkan pencarian. Meskipun hari mulai sore, tapi tekadnya telah membuat energi sore itu menjadi lebih positif. Sam masih tidak menyangka dirinya akan terlibat dalam pencarian yang menurut Aeda masih belum selesai. Aeda pun terus menggenggam koran yang ternyata memuat alamat orang yang konon putri dari pengarang yang karyanya belum sempat Aeda baca.

Langit sore menyambut baik tekad Aeda. Ia tahu harus pergi ke arah mana untuk sampai di pedesaan yang ada di puncak kota Bandung. Jujur, Aeda sangat bersyukur ternyata dirinya pernah berkunjung ke tempat itu. Sebuah pondok baca khusus untuk anak-anak desa yang rata-rata kurang minat dalam hal membaca.

Diantara pepohonan yang rindang dan teduh terdapat rumah kayu sederhana. Selasarnya dilengkapi meja-meja kecil dan papan tulis berwarna hitam. Buku-buku bacaan yang sudah lusuh pun tertumpuk di salah satu meja. Bisa dibayangkan bahwa tempat terbuka itu sangat ramai oleh anak-anak ketika siang hari. Aeda yakin tidak salah tempat. Ia pernah kemari sebelumnya untuk membuat video dokumentasi.

Aeda dan Sam masih berdiri di depan selasar rumah. Mereka tidak berani mengotori selasar itu dengan sepatunya. 

“Loh, Mbak Aera, udah sore begini kok malah matung di luar rumah. Udah mau maghrib loh,” kata seorang gadis penuh keakraban.

Aeda yakin gadis itu salah mengenalinya. “Maaf, saya bukan Aera. Justru saya yang ingin bertemu dengan Aera.”

“Mbak Aera ini memang suka bercanda.”

Aeda menoleh ke arah Sam. Akhirnya Sam pun memperjelas maksudnya, “Maksdunya kami ingin bertemu seseorang di rumah ini yang bernama Aera Soebagyo.”

Akhirnya mereka bertiga menjadi sama-sama bingung. Gadis itu masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Aeda dan Sam untuk menunggu di selasar. Tak lama kemudian seorang gadis lain muncul dari balik pintu. Aeda sangat terkejut ketika melihat wajah dirinya ada pada tubuh orang lain. Seperti duplikasi. Hanya saja yang ada di hadapannya adalah Aeda versi gadis desa. Cara berpakaiannya sangat sopan dan tidak terbuka. Berbeda dengan dirinya yang asli, modern dan gaya, tapi sedikit menyalahi norma. 

Aeda masih tidak percaya bahwa gadis itu juga terlahir dari jenis gen dan rahim yang sama. Jujur, Aeda tak pernah menghiraukan cerita dari orang tua angkatnya, bahwa ia memiliki kembaran.  Bahkan Aeda juga masih tidak percaya bahwa pengarang terkenal itu adalah induk dari gen yang ada di dalam tubuhnya. Sementara di sampingnya, Sam hanya melongo melihat dua gadis kembar yang tak pernah disangka akan bertemu dalam pencarian konyol yang tidak disengaja.

“Saya Aera Soebagyo. Jika memang sayalah orang yang kalian cari.” Gadis bernama Aera itu mengenalkan dirinya dengan sopan dan rendah hati.

Perlahan Aeda mendekat. Ia memandang lekat-lekat seperti sedang melihat dirinya di dalam cermin. Hatinya mendadak melemah oleh keadaan itu.

“Tolong katakan sesuatu yang lain,” pinta Aeda pada Aera dengan nada lemah.

Aera sedikit tertunduk malu. Namun di wajahnya terlihat ada kebahagiaan yang berhasil membuat bibirnya sedikit tertarik ke samping. “Mungkin ini adalah jawaban atas do’a saya selama ini.”

Aeda dan Aera. Mereka sama-sama tersenyum dan saling memeluk. Saling menyatukan energi rindu yang telah lama minta dibasuh.

Aeda merasa seperti mendapat hadiah berganda. Bukan karya Lambang Soebagyo saja yang pada akhirnya ia temukan dalam bentuk tulisan asli, bukan cetakan. Tapi ia juga menemukan saudara kandungnya yang tidak sempat terpikir dalam otaknya. Bahkan dalam dirinya yang lain, Aeda melihat arti sebuah ketulusan yang mampu melumpuhkan narsisme dalam dirinya. Dan satu pelajaran baru yang Aeda peroleh dari Lambang Soebagyo, menulislah hingga sisa energi yang dimiliki. 


-Selesai-

Energi (1)



Energi yang dikeluarkan tidak pernah habis. Karena berdasarkan hukum fisika, energi itu mempunyai kekekalan. Energi yang dihasilkan dan yang dikeluarkan adalah sama. Aeda tidak peduli dengan teori itu. Materi semasa SMA sudah lama ia lupakan demi memperdalam bidang ilmu komunikasi, yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Tapi kesibukan kuliahnya tidak membuat Aeda melunturkan kecintaannya pada sastra. Bahkan ia semakin menggilai sastra sejak bergabung di komunitas pecinta sastra.

Aeda bersama komunitasnya sudah beberapa kali mengkaji, mengapresiasi, dan membedah karya dari para penulis terkemuka. Karangan Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Khalil Gibran, Djenar Maesa Ayu dan pengarang lain asal Indonesia sudah habis dimakan dalam fokus perbincangan mereka. Bahkan pengarang luar pun tak tanggung-tanggung mereka lahap. Tak heran jika Aeda mengetahui hal-hal yang membuat masyarakat dunia menggilai karangan Shakespears, dan mengetahui cara Jane Austin memikat para pembaca.

Kali ini Aeda berusaha mencari karya sastra yang ditulis oleh pengarang yang belum pernah didengar olehnya. Sekitar tiga bulan yang lalu. Aeda bertemu seorang pria yang usianya sudah uzur di sebuah toko buku. Pria tua itu dulunya dosen sastra, dan sudah pensiun sekitar delapan tahun yang lalu. Di sela-sela obrolannya, Aeda secara tidak sengaja mengungkapkan kegemarannya pada sastra. Namun tiba-tiba pria itu mendakwa Aeda adalah pecinta sastra yang narsis. Hanya mengulas sastra dari karya besar para penulis terkenal, dengan harapan orang lain akan memandang kemunitasnya sebagai komunitas yang keren karena seluruh anggotanya memiliki koleksi best seller pengarang terkenal.

Aeda menyangkal. Hatinya tidak bisa menerima perkataan pria tua itu. Bahkan Aeda mendadak membenci kacamata tebal yang dipakai oleh si pria tua. Dengan penuh rasa kesal Aeda melontarkan sebuah pertanyaan yang menurutnya dapat mengungkap jati diri si pria, “Karya macam apa yang sudah Bapak baca?”. 

Waktu itu si pria tua tidak langsung menjawab. Lantas Aeda bertanya lagi, “Saya yakin referensi Bapak sangat banyak. Bisakah Bapak sebutkan satu karya sastra dari pengarang tak terkenal?”

Tiga kata terakhir dari pertanyaan Aeda berhasil menggelitik si pria tua. “Lambang Soebagyo,” kata pria tua penuh kemantapan tanpa melihat wajah Aeda. “Sastra tahun delapan puluhan. Ceritanya sangat klasik dan apik, tidak kalah dengan karya Shakespears.” 

Rupanya pria tua itu sengaja memberi tekanan tambahan ketika mengucapkan pengarang terkenal asal Eropa yang Aeda kagumi. “Meskipun tidak banyak yang membacanya, tapi tetap ada yang membaca. Bukankah setiap buku ada pembacanya?” tambah si pria tua sebelum pergi keluar toko. 

Aeda sangat tidak puas dengan jawaban pria tua yang tampak sengaja memberi teka-teki untuk dirinya. Dan sialnya Aeda tidak dapat menyusul si pria tua meskipun sudah menabrak salah satu pengunjung toko. Ketika sampai di ujung pintu, di sana hanya ada beberapa pejalan kaki yang kebetulan lewat. Pria tua itu telah hilang begitu saja seperti magis yang dapat menembus dimensi waktu. Mungkin pria itu hanya angin yang menggelitik telinga. Aeda jadi merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Seperti mimpi. Tapi nyatanya terik matahari diluar toko dapat membakar epidermisnya. Itu nyata.

Sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu Aeda mengunjungi toko yang sama, dengan harapan dapat bertemu si pria tua sehingga bisa meminta jawaban langsung, tanpa ada teka-teki. Tapi sekalipun Aeda tidak pernah menjumpai pria tua itu lagi. Hingga beginilah jadinya Aeda sekarang. Ia menjadikan teka-teki sastra tak terkenal yang dimaksud si pria tua, sebagai sebuah petualangan yang akan menyita seluruh energinya.

Mulai hari ini, setiap hari, bahkan setiap jam Aeda mengecek akun emailnya untuk memastikan konfirmasi dari penerbit mengenai penerbitan buku oleh pengarang bernama Lambang Soebagyo. Satu per satu penerbit mulai membalasnya. Tapi tak ada satu pun penerbit yang pernah menerbitkan buku yang dimaksud Aeda. Bahkan Aeda berinisiatif untuk mencarinya ke berbagai toko buku di Jakarta. Dengan bantuan temannya, Sam, ia membuat pencarian di google, toko online, dan sosial media. Tapi sampai saat ini pula memang belum ada yang mengkonfirmasi keberadaan buku misterius itu.

Aeda. Dengan energi yang masih melekat dalam jiwanya, ia kembali ke toko tempat ia bertemu pria tua. Minggu kemarin Aeda ke toko pada Senin dan Selasa. Minggu ini ia datang pada Selasa dan Rabu. Dan kemungkinan minggu depan datang pada hari Rabu dan Kamis. Sam menahan langkah Aeda yang beranjak masuk ke toko.

“Kamu yakin mau masuk lagi?”

“Setiap waktu yang bergulir adalah kesempatan. Aku tidak mau melewatinya begitu saja, tanpa usaha.”

Aeda nekat masuk ke toko, dan diam berdiri sambil sesekali mengamati setiap pengunjung yang sedang melihat-lihat buku. Begitu seterusnya sampai empat jam ke depan. Sam yang dari tadi mondar-mandir mengelilingi rak display tengah jengah. Ia sengaja memperlihatkan jam tangan pada Aeda dengan harapan Aeda langsung bergegas keluar. Tapi nyatanya Aeda masih diam di tempatnya.

“Kita lanjutkan saja besok. Ini sudah sore. Dan kamu pasti capek hari ini.”

Selalu harus dengan rayuan Sam terlebih dahulu untuk membuat Aeda istirahat dari rutinitas hariannya itu. Tapi malamnya Aeda kembali beraksi berpetualang melalui monitornya. Matanya tiada lelah memandang monitor yang memancarkan cahaya terang sementara lampu kamarnya sudah dimatikan. Begitu seterusnya. Siang dan malam ia habiskan untuk melakukan pencarian yang belum membuahkan hasil.

Pagi-pagi sekali Aeda menelepon Sam untuk menemaninya ke perpustakaan. Aeda mengubah strategi pencariannya. Hari kamis itu Aeda datang ke Perpustakaan Daerah dengan ditemani Sam. Jarang sekali Aeda berkunjung ke perpustakaan, selain perpustakaan fakultas atau universitas. Itu pun kalau terdesak oleh tugas dosen.

Kecanggungan Aeda dan Sam sangat terlihat bahwa mereka belum pernah ke Perpustakaan Daerah. Tanpa banyak ulah lagi, Aeda langsung menemui salah seorang pustakawan dan memintanya untuk mencarikan buku karya Lambang Soebagyo. Si pustakawan segera menuju salah satu jajaran komputer. Mereka menyebutnya katalog online yang fungsinya untuk penelusuran koleksi. Setelah klik sana dan klik sini, pustakawan itu belum mengkonfirmasikan apa pun. Aeda dan Sam hanya menunggu, sementara si pustakawan kembali ke komputer meja sirkulasi. Dan tak lama kemudian pun si pustakawan menuju Aeda dan Sam lagi.

“Sebelumnya minta maaf, Mbak. Koleksi yang dimaksud ternyata tidak ada di database kami.”

Aeda langsung putus harapan. Ketika ia berusaha menoleh ke arah Sam, ternyata Sam sudah lebih dulu memandang raut kecewanya.

“Tapi Mbak bisa mencarinya di Perpustakaan Nasional. Di sana koleksinya lebih lengkap, karena semua penerbit pasti menyerahkan satu eksemplar koleksi yang diterbitkan ke Perpustakaan Nasional,” jelas Si Pustakawan penuh keramahan.

Cari Blog Ini