Energi yang dikeluarkan tidak pernah habis. Karena
berdasarkan hukum fisika, energi itu mempunyai kekekalan. Energi yang
dihasilkan dan yang dikeluarkan adalah sama. Aeda tidak peduli dengan teori
itu. Materi semasa SMA sudah lama ia lupakan demi memperdalam bidang ilmu
komunikasi, yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Tapi kesibukan
kuliahnya tidak membuat Aeda melunturkan kecintaannya pada sastra. Bahkan ia
semakin menggilai sastra sejak bergabung di komunitas pecinta sastra.
Aeda bersama komunitasnya sudah beberapa kali mengkaji,
mengapresiasi, dan membedah karya dari para penulis terkemuka. Karangan
Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Khalil Gibran, Djenar Maesa Ayu dan pengarang
lain asal Indonesia sudah habis dimakan dalam fokus perbincangan mereka. Bahkan
pengarang luar pun tak tanggung-tanggung mereka lahap. Tak heran jika Aeda
mengetahui hal-hal yang membuat masyarakat dunia menggilai karangan
Shakespears, dan mengetahui cara Jane Austin memikat para pembaca.
Kali ini Aeda berusaha mencari karya sastra yang
ditulis oleh pengarang yang belum pernah didengar olehnya. Sekitar tiga bulan
yang lalu. Aeda bertemu seorang pria yang usianya sudah uzur di sebuah toko
buku. Pria tua itu dulunya dosen sastra, dan sudah pensiun sekitar delapan
tahun yang lalu. Di sela-sela obrolannya, Aeda secara tidak sengaja
mengungkapkan kegemarannya pada sastra. Namun tiba-tiba pria itu mendakwa Aeda
adalah pecinta sastra yang narsis. Hanya mengulas sastra dari karya besar para
penulis terkenal, dengan harapan orang lain akan memandang kemunitasnya sebagai
komunitas yang keren karena seluruh anggotanya memiliki koleksi best seller pengarang terkenal.
Aeda menyangkal. Hatinya tidak bisa menerima
perkataan pria tua itu. Bahkan Aeda mendadak membenci kacamata tebal yang
dipakai oleh si pria tua. Dengan penuh rasa kesal Aeda melontarkan sebuah
pertanyaan yang menurutnya dapat mengungkap jati diri si pria, “Karya macam apa
yang sudah Bapak baca?”.
Waktu itu si pria tua tidak langsung menjawab.
Lantas Aeda bertanya lagi, “Saya yakin referensi Bapak sangat banyak. Bisakah
Bapak sebutkan satu karya sastra dari pengarang tak terkenal?”
Tiga kata terakhir dari pertanyaan Aeda berhasil
menggelitik si pria tua. “Lambang Soebagyo,” kata pria tua penuh kemantapan
tanpa melihat wajah Aeda. “Sastra tahun delapan puluhan. Ceritanya sangat
klasik dan apik, tidak kalah dengan karya Shakespears.”
Rupanya pria tua itu sengaja memberi tekanan
tambahan ketika mengucapkan pengarang terkenal asal Eropa yang Aeda kagumi.
“Meskipun tidak banyak yang membacanya, tapi tetap ada yang membaca. Bukankah
setiap buku ada pembacanya?” tambah si pria tua sebelum pergi keluar toko.
Aeda sangat tidak puas dengan jawaban pria tua yang
tampak sengaja memberi teka-teki untuk dirinya. Dan sialnya Aeda tidak dapat
menyusul si pria tua meskipun sudah menabrak salah satu pengunjung toko. Ketika
sampai di ujung pintu, di sana hanya ada beberapa pejalan kaki yang kebetulan
lewat. Pria tua itu telah hilang begitu saja seperti magis yang dapat menembus
dimensi waktu. Mungkin pria itu hanya angin yang menggelitik telinga. Aeda jadi
merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Seperti mimpi. Tapi nyatanya terik
matahari diluar toko dapat membakar epidermisnya. Itu nyata.
Sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu Aeda
mengunjungi toko yang sama, dengan harapan dapat bertemu si pria tua sehingga
bisa meminta jawaban langsung, tanpa ada teka-teki. Tapi sekalipun Aeda tidak
pernah menjumpai pria tua itu lagi. Hingga beginilah jadinya Aeda sekarang. Ia
menjadikan teka-teki sastra tak terkenal yang dimaksud si pria tua, sebagai
sebuah petualangan yang akan menyita seluruh energinya.
Mulai hari ini, setiap hari, bahkan setiap jam Aeda
mengecek akun emailnya untuk memastikan konfirmasi dari penerbit mengenai
penerbitan buku oleh pengarang bernama Lambang Soebagyo. Satu per satu penerbit
mulai membalasnya. Tapi tak ada satu pun penerbit yang pernah menerbitkan buku
yang dimaksud Aeda. Bahkan Aeda berinisiatif untuk mencarinya ke berbagai toko
buku di Jakarta. Dengan bantuan temannya, Sam, ia membuat pencarian di google,
toko online, dan sosial media. Tapi
sampai saat ini pula memang belum ada yang mengkonfirmasi keberadaan buku
misterius itu.
Aeda. Dengan energi yang masih melekat dalam
jiwanya, ia kembali ke toko tempat ia bertemu pria tua. Minggu kemarin Aeda ke
toko pada Senin dan Selasa. Minggu ini ia datang pada Selasa dan Rabu. Dan
kemungkinan minggu depan datang pada hari Rabu dan Kamis. Sam menahan langkah
Aeda yang beranjak masuk ke toko.
“Kamu yakin mau masuk lagi?”
“Setiap waktu yang bergulir adalah kesempatan. Aku tidak
mau melewatinya begitu saja, tanpa usaha.”
Aeda nekat masuk ke toko, dan diam berdiri sambil
sesekali mengamati setiap pengunjung yang sedang melihat-lihat buku. Begitu
seterusnya sampai empat jam ke depan. Sam yang dari tadi mondar-mandir
mengelilingi rak display tengah
jengah. Ia sengaja memperlihatkan jam tangan pada Aeda dengan harapan Aeda
langsung bergegas keluar. Tapi nyatanya Aeda masih diam di tempatnya.
“Kita lanjutkan saja besok. Ini sudah sore. Dan kamu
pasti capek hari ini.”
Selalu harus dengan rayuan Sam terlebih dahulu untuk
membuat Aeda istirahat dari rutinitas hariannya itu. Tapi malamnya Aeda kembali
beraksi berpetualang melalui monitornya. Matanya tiada lelah memandang monitor
yang memancarkan cahaya terang sementara lampu kamarnya sudah dimatikan. Begitu
seterusnya. Siang dan malam ia habiskan untuk melakukan pencarian yang belum
membuahkan hasil.
Pagi-pagi sekali Aeda menelepon Sam untuk
menemaninya ke perpustakaan. Aeda mengubah strategi pencariannya. Hari kamis
itu Aeda datang ke Perpustakaan Daerah dengan ditemani Sam. Jarang sekali Aeda
berkunjung ke perpustakaan, selain perpustakaan fakultas atau universitas. Itu
pun kalau terdesak oleh tugas dosen.
Kecanggungan Aeda dan Sam sangat terlihat bahwa
mereka belum pernah ke Perpustakaan Daerah. Tanpa banyak ulah lagi, Aeda
langsung menemui salah seorang pustakawan dan memintanya untuk mencarikan buku
karya Lambang Soebagyo. Si pustakawan segera menuju salah satu jajaran
komputer. Mereka menyebutnya katalog online
yang fungsinya untuk penelusuran koleksi. Setelah klik sana dan klik sini,
pustakawan itu belum mengkonfirmasikan apa pun. Aeda dan Sam hanya menunggu,
sementara si pustakawan kembali ke komputer meja sirkulasi. Dan tak lama
kemudian pun si pustakawan menuju Aeda dan Sam lagi.
“Sebelumnya minta maaf, Mbak. Koleksi yang dimaksud
ternyata tidak ada di database kami.”
Aeda langsung putus harapan. Ketika ia berusaha
menoleh ke arah Sam, ternyata Sam sudah lebih dulu memandang raut kecewanya.
“Tapi Mbak bisa mencarinya di Perpustakaan Nasional.
Di sana koleksinya lebih lengkap, karena semua penerbit pasti menyerahkan satu
eksemplar koleksi yang diterbitkan ke Perpustakaan Nasional,” jelas Si
Pustakawan penuh keramahan.
0 komentar:
Posting Komentar