Energi (1)



Energi yang dikeluarkan tidak pernah habis. Karena berdasarkan hukum fisika, energi itu mempunyai kekekalan. Energi yang dihasilkan dan yang dikeluarkan adalah sama. Aeda tidak peduli dengan teori itu. Materi semasa SMA sudah lama ia lupakan demi memperdalam bidang ilmu komunikasi, yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Tapi kesibukan kuliahnya tidak membuat Aeda melunturkan kecintaannya pada sastra. Bahkan ia semakin menggilai sastra sejak bergabung di komunitas pecinta sastra.

Aeda bersama komunitasnya sudah beberapa kali mengkaji, mengapresiasi, dan membedah karya dari para penulis terkemuka. Karangan Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Khalil Gibran, Djenar Maesa Ayu dan pengarang lain asal Indonesia sudah habis dimakan dalam fokus perbincangan mereka. Bahkan pengarang luar pun tak tanggung-tanggung mereka lahap. Tak heran jika Aeda mengetahui hal-hal yang membuat masyarakat dunia menggilai karangan Shakespears, dan mengetahui cara Jane Austin memikat para pembaca.

Kali ini Aeda berusaha mencari karya sastra yang ditulis oleh pengarang yang belum pernah didengar olehnya. Sekitar tiga bulan yang lalu. Aeda bertemu seorang pria yang usianya sudah uzur di sebuah toko buku. Pria tua itu dulunya dosen sastra, dan sudah pensiun sekitar delapan tahun yang lalu. Di sela-sela obrolannya, Aeda secara tidak sengaja mengungkapkan kegemarannya pada sastra. Namun tiba-tiba pria itu mendakwa Aeda adalah pecinta sastra yang narsis. Hanya mengulas sastra dari karya besar para penulis terkenal, dengan harapan orang lain akan memandang kemunitasnya sebagai komunitas yang keren karena seluruh anggotanya memiliki koleksi best seller pengarang terkenal.

Aeda menyangkal. Hatinya tidak bisa menerima perkataan pria tua itu. Bahkan Aeda mendadak membenci kacamata tebal yang dipakai oleh si pria tua. Dengan penuh rasa kesal Aeda melontarkan sebuah pertanyaan yang menurutnya dapat mengungkap jati diri si pria, “Karya macam apa yang sudah Bapak baca?”. 

Waktu itu si pria tua tidak langsung menjawab. Lantas Aeda bertanya lagi, “Saya yakin referensi Bapak sangat banyak. Bisakah Bapak sebutkan satu karya sastra dari pengarang tak terkenal?”

Tiga kata terakhir dari pertanyaan Aeda berhasil menggelitik si pria tua. “Lambang Soebagyo,” kata pria tua penuh kemantapan tanpa melihat wajah Aeda. “Sastra tahun delapan puluhan. Ceritanya sangat klasik dan apik, tidak kalah dengan karya Shakespears.” 

Rupanya pria tua itu sengaja memberi tekanan tambahan ketika mengucapkan pengarang terkenal asal Eropa yang Aeda kagumi. “Meskipun tidak banyak yang membacanya, tapi tetap ada yang membaca. Bukankah setiap buku ada pembacanya?” tambah si pria tua sebelum pergi keluar toko. 

Aeda sangat tidak puas dengan jawaban pria tua yang tampak sengaja memberi teka-teki untuk dirinya. Dan sialnya Aeda tidak dapat menyusul si pria tua meskipun sudah menabrak salah satu pengunjung toko. Ketika sampai di ujung pintu, di sana hanya ada beberapa pejalan kaki yang kebetulan lewat. Pria tua itu telah hilang begitu saja seperti magis yang dapat menembus dimensi waktu. Mungkin pria itu hanya angin yang menggelitik telinga. Aeda jadi merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Seperti mimpi. Tapi nyatanya terik matahari diluar toko dapat membakar epidermisnya. Itu nyata.

Sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu Aeda mengunjungi toko yang sama, dengan harapan dapat bertemu si pria tua sehingga bisa meminta jawaban langsung, tanpa ada teka-teki. Tapi sekalipun Aeda tidak pernah menjumpai pria tua itu lagi. Hingga beginilah jadinya Aeda sekarang. Ia menjadikan teka-teki sastra tak terkenal yang dimaksud si pria tua, sebagai sebuah petualangan yang akan menyita seluruh energinya.

Mulai hari ini, setiap hari, bahkan setiap jam Aeda mengecek akun emailnya untuk memastikan konfirmasi dari penerbit mengenai penerbitan buku oleh pengarang bernama Lambang Soebagyo. Satu per satu penerbit mulai membalasnya. Tapi tak ada satu pun penerbit yang pernah menerbitkan buku yang dimaksud Aeda. Bahkan Aeda berinisiatif untuk mencarinya ke berbagai toko buku di Jakarta. Dengan bantuan temannya, Sam, ia membuat pencarian di google, toko online, dan sosial media. Tapi sampai saat ini pula memang belum ada yang mengkonfirmasi keberadaan buku misterius itu.

Aeda. Dengan energi yang masih melekat dalam jiwanya, ia kembali ke toko tempat ia bertemu pria tua. Minggu kemarin Aeda ke toko pada Senin dan Selasa. Minggu ini ia datang pada Selasa dan Rabu. Dan kemungkinan minggu depan datang pada hari Rabu dan Kamis. Sam menahan langkah Aeda yang beranjak masuk ke toko.

“Kamu yakin mau masuk lagi?”

“Setiap waktu yang bergulir adalah kesempatan. Aku tidak mau melewatinya begitu saja, tanpa usaha.”

Aeda nekat masuk ke toko, dan diam berdiri sambil sesekali mengamati setiap pengunjung yang sedang melihat-lihat buku. Begitu seterusnya sampai empat jam ke depan. Sam yang dari tadi mondar-mandir mengelilingi rak display tengah jengah. Ia sengaja memperlihatkan jam tangan pada Aeda dengan harapan Aeda langsung bergegas keluar. Tapi nyatanya Aeda masih diam di tempatnya.

“Kita lanjutkan saja besok. Ini sudah sore. Dan kamu pasti capek hari ini.”

Selalu harus dengan rayuan Sam terlebih dahulu untuk membuat Aeda istirahat dari rutinitas hariannya itu. Tapi malamnya Aeda kembali beraksi berpetualang melalui monitornya. Matanya tiada lelah memandang monitor yang memancarkan cahaya terang sementara lampu kamarnya sudah dimatikan. Begitu seterusnya. Siang dan malam ia habiskan untuk melakukan pencarian yang belum membuahkan hasil.

Pagi-pagi sekali Aeda menelepon Sam untuk menemaninya ke perpustakaan. Aeda mengubah strategi pencariannya. Hari kamis itu Aeda datang ke Perpustakaan Daerah dengan ditemani Sam. Jarang sekali Aeda berkunjung ke perpustakaan, selain perpustakaan fakultas atau universitas. Itu pun kalau terdesak oleh tugas dosen.

Kecanggungan Aeda dan Sam sangat terlihat bahwa mereka belum pernah ke Perpustakaan Daerah. Tanpa banyak ulah lagi, Aeda langsung menemui salah seorang pustakawan dan memintanya untuk mencarikan buku karya Lambang Soebagyo. Si pustakawan segera menuju salah satu jajaran komputer. Mereka menyebutnya katalog online yang fungsinya untuk penelusuran koleksi. Setelah klik sana dan klik sini, pustakawan itu belum mengkonfirmasikan apa pun. Aeda dan Sam hanya menunggu, sementara si pustakawan kembali ke komputer meja sirkulasi. Dan tak lama kemudian pun si pustakawan menuju Aeda dan Sam lagi.

“Sebelumnya minta maaf, Mbak. Koleksi yang dimaksud ternyata tidak ada di database kami.”

Aeda langsung putus harapan. Ketika ia berusaha menoleh ke arah Sam, ternyata Sam sudah lebih dulu memandang raut kecewanya.

“Tapi Mbak bisa mencarinya di Perpustakaan Nasional. Di sana koleksinya lebih lengkap, karena semua penerbit pasti menyerahkan satu eksemplar koleksi yang diterbitkan ke Perpustakaan Nasional,” jelas Si Pustakawan penuh keramahan.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini