Aeda yang sudah frustasi dan buntu. Namun energi
yang dimiliki lebih besar dari frustasinya itu. Bahkan harapan pun muncul lagi
di wajah pucat Aeda yang pagi tadi belum sarapan. Kurang dari dua jam, Aeda dan
Sam sudah sampai di Jalan Salemba Raya. Di hadapan mata mereka berdiri gedung
berlantai sepuluh, sampai-sampai kepala mereka mendongak di balik jendela
mobil.
“Aku tidak yakin kalau ini gedung perpustakaan.
Berapa koleksi yang mereka miliki?” Sam mengutarakan rasa penasarannya yang
tidak perlu dijawab Aeda. Mereka sama-sama belum pernah memasuki gedung
Perpustakaan Nasional.
“Semakin besar gedungnya, maka semakin besar pula
kesempatan untuk menemukan karya Lambang Soebagyo.” Aeda percaya dengan
perkataan yang baru diungkapkan itu.
Di dalam perpustakaan, seorang bapak tua berpakaian
rapi menyambut mereka dengan senyuman ramah. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?”
Aeda mengangguk, “Kami sedang mencari karya Lambang
Soebagyo. Kami kemari karena mendapat rujukan dari pihak Perpustakaan Daerah.”
Bapak tua itu menyuruh mereka menunggu, sementara
penelusuran sedang dilakukan. Tak ada sepuluh menit, bapak tua itu kembali lagi
tanpa membawa buku apa pun. Si bapak tua kembali bergabung dengan Aeda dan Sam.
Entah berita buruk atau sebuah pencerahan, yang jelas bapak tua memberi banyak
informasi mengenai karya Lambang Soebagyo. Fakta telah membuktikan bahwa karya
itu pernah dimiliki oleh perpustakaan. Bahkan masih terdaftar di buku induk
perpustakaan, dengan catatan buku itu telah diserahkan ke pihak hukum karena
dilarang beredar.
Karya Lambang Soebagyo adalah sebuah kesalahan besar
bagi sebuah keluarga konglomerat bisnis. Kisahnya yang sangat nyata membuat
sebuah keluarga menjadi tersinggung. Semua bermula dari api cinta yang membuat
seorang Lambang Soebagyo jatuh cinta pada salah satu anggota keluarga si
konglomerat bisnis. Namun perbedaan status melarang mereka untuk saling
mencintai. Dan perjalanan memperjuangkan cintanya pun ia tuangkan dalam sebuah
karya.
Aeda dan Sam termenung mendengar sebagian kisah
klasik yang diceritakan oleh Si bapak tua. Kisahnya berakhir menggantung. Namun
kehidupan Lambang Soebagyo yang berujung seperti kisah Romeo dan Juliet itu
cukup membuat hati Aeda bergetar.
“Peredaran karyanya tidak terlalu luas. Dan sebenarnya
karya itu tidak pernah diterbitkan oleh penerbit mana pun,” jelas Si bapak tua.
“Lantas?” Aeda terheran.
“Self
publishing. Seseorang dapat menerbitkan sebuah karya tanpa melalui
penerbit. Dan karya itu dapat beredar setelah mendapat nomor ISBN dari
Perpustakaan Nasional.”
Si bapak tua kembali ke meja kerja setelah Aeda
tidak memberi pertanyaan lagi.
Mendadak Aeda merasa buntu. Buku yang dicari sudah
dimusnahkan. Selamanya Aeda tidak akan pernah membaca keseluruhan karya klasik
Lambang Soebagyo. Sekarang yang Aeda pikirkan adalah pria tua yang dijumpai di
toko. Dalam benaknya Aeda bertanya untuk apa si pria tua itu memberi tantangan
yang tidak mungkin Aeda lakukan. Apa hanya gurauan? Tidak. Orang cerdas dan
berilmu tidak bertutur tanpa tujuan.
Sekali lagi Sam harus membujuk Aeda untuk keluar
dari perpustakaan, sekaligus untuk mengakhiri pencarian karya yang telah musnah
sejak lima belas tahun lalu. Tak ada kata tanya lagi yang disampaikan Aeda,
kecuali dalam hatinya yang masih merasa ganjil.
Di meja baca pengunjung, sebuah koran dengan salah
satu headline-nya telah menarik
perhatian Aeda.
PUTRI
LAMBANG SOEBAGYO RELA MENULIS DAN
MENDONGENG
TANPA DIBAYAR
Aeda langsung menyambar Koran Harian kota Jakarta
itu. Dalam sekejap tangannya langsung membuka halaman selanjutnya yang memuat
berita yang telah menggunggah hatinya. Dari berita itu Aeda mendapat harapan
baru lagi.
“Semua telah berakhir. Pengarangnya sudah tidak ada.
Kamu tidak berpikir untuk menemuinya, kan?” Sam berusaha mengusik Aeda.
“Berhentilah menemaniku kalau kamu sudah merasa
capek,” jawab Aeda tanpa melepaskan matanya dari berita koran.
Sam tidak berkomentar lagi. Ia hanya menurut saat Aeda
memutuskan untuk melanjutkan pencarian. Meskipun hari mulai sore, tapi tekadnya
telah membuat energi sore itu menjadi lebih positif. Sam masih tidak menyangka
dirinya akan terlibat dalam pencarian yang menurut Aeda masih belum selesai. Aeda
pun terus menggenggam koran yang ternyata memuat alamat orang yang konon putri
dari pengarang yang karyanya belum sempat Aeda baca.
Langit sore menyambut baik tekad Aeda. Ia tahu harus
pergi ke arah mana untuk sampai di pedesaan yang ada di puncak kota Bandung. Jujur,
Aeda sangat bersyukur ternyata dirinya pernah berkunjung ke tempat itu. Sebuah
pondok baca khusus untuk anak-anak desa yang rata-rata kurang minat dalam hal
membaca.
Diantara pepohonan yang rindang dan teduh terdapat
rumah kayu sederhana. Selasarnya dilengkapi meja-meja kecil dan papan tulis
berwarna hitam. Buku-buku bacaan yang sudah lusuh pun tertumpuk di salah satu meja.
Bisa dibayangkan bahwa tempat terbuka itu sangat ramai oleh anak-anak ketika
siang hari. Aeda yakin tidak salah tempat. Ia pernah kemari sebelumnya untuk
membuat video dokumentasi.
Aeda dan Sam masih berdiri di depan selasar rumah.
Mereka tidak berani mengotori selasar itu dengan sepatunya.
“Loh, Mbak Aera, udah sore begini kok malah matung
di luar rumah. Udah mau maghrib loh,” kata seorang gadis penuh keakraban.
Aeda yakin gadis itu salah mengenalinya. “Maaf, saya
bukan Aera. Justru saya yang ingin bertemu dengan Aera.”
“Mbak Aera ini memang suka bercanda.”
Aeda menoleh ke arah Sam. Akhirnya Sam pun
memperjelas maksudnya, “Maksdunya kami ingin bertemu seseorang di rumah ini
yang bernama Aera Soebagyo.”
Akhirnya mereka bertiga menjadi sama-sama bingung.
Gadis itu masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Aeda dan Sam untuk menunggu di
selasar. Tak lama kemudian seorang gadis lain muncul dari balik pintu. Aeda
sangat terkejut ketika melihat wajah dirinya ada pada tubuh orang lain. Seperti
duplikasi. Hanya saja yang ada di hadapannya adalah Aeda versi gadis desa. Cara
berpakaiannya sangat sopan dan tidak terbuka. Berbeda dengan dirinya yang asli,
modern dan gaya, tapi sedikit menyalahi norma.
Aeda masih tidak percaya bahwa gadis itu juga
terlahir dari jenis gen dan rahim yang sama. Jujur, Aeda tak pernah menghiraukan
cerita dari orang tua angkatnya, bahwa ia memiliki kembaran. Bahkan Aeda juga masih tidak percaya bahwa
pengarang terkenal itu adalah induk dari gen yang ada di dalam tubuhnya.
Sementara di sampingnya, Sam hanya melongo melihat dua gadis kembar yang tak
pernah disangka akan bertemu dalam pencarian konyol yang tidak disengaja.
“Saya Aera Soebagyo. Jika memang sayalah orang yang
kalian cari.” Gadis bernama Aera itu mengenalkan dirinya dengan sopan dan
rendah hati.
Perlahan Aeda mendekat. Ia memandang lekat-lekat
seperti sedang melihat dirinya di dalam cermin. Hatinya mendadak melemah oleh
keadaan itu.
“Tolong katakan sesuatu yang lain,” pinta Aeda pada
Aera dengan nada lemah.
Aera sedikit tertunduk malu. Namun di wajahnya
terlihat ada kebahagiaan yang berhasil membuat bibirnya sedikit tertarik ke
samping. “Mungkin ini adalah jawaban atas do’a saya selama ini.”
Aeda dan Aera. Mereka sama-sama tersenyum dan saling
memeluk. Saling menyatukan energi rindu yang telah lama minta dibasuh.
Aeda merasa seperti mendapat hadiah berganda. Bukan
karya Lambang Soebagyo saja yang pada akhirnya ia temukan dalam bentuk tulisan
asli, bukan cetakan. Tapi ia juga menemukan saudara kandungnya yang tidak
sempat terpikir dalam otaknya. Bahkan dalam dirinya yang lain, Aeda melihat arti
sebuah ketulusan yang mampu melumpuhkan narsisme dalam dirinya. Dan satu
pelajaran baru yang Aeda peroleh dari Lambang Soebagyo, menulislah hingga sisa
energi yang dimiliki.
-Selesai-
0 komentar:
Posting Komentar