Energi (2)



Aeda yang sudah frustasi dan buntu. Namun energi yang dimiliki lebih besar dari frustasinya itu. Bahkan harapan pun muncul lagi di wajah pucat Aeda yang pagi tadi belum sarapan. Kurang dari dua jam, Aeda dan Sam sudah sampai di Jalan Salemba Raya. Di hadapan mata mereka berdiri gedung berlantai sepuluh, sampai-sampai kepala mereka mendongak di balik jendela mobil.

“Aku tidak yakin kalau ini gedung perpustakaan. Berapa koleksi yang mereka miliki?” Sam mengutarakan rasa penasarannya yang tidak perlu dijawab Aeda. Mereka sama-sama belum pernah memasuki gedung Perpustakaan Nasional.

“Semakin besar gedungnya, maka semakin besar pula kesempatan untuk menemukan karya Lambang Soebagyo.” Aeda percaya dengan perkataan yang baru diungkapkan itu.

Di dalam perpustakaan, seorang bapak tua berpakaian rapi menyambut mereka dengan senyuman ramah. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?”

Aeda mengangguk, “Kami sedang mencari karya Lambang Soebagyo. Kami kemari karena mendapat rujukan dari pihak Perpustakaan Daerah.”

Bapak tua itu menyuruh mereka menunggu, sementara penelusuran sedang dilakukan. Tak ada sepuluh menit, bapak tua itu kembali lagi tanpa membawa buku apa pun. Si bapak tua kembali bergabung dengan Aeda dan Sam. Entah berita buruk atau sebuah pencerahan, yang jelas bapak tua memberi banyak informasi mengenai karya Lambang Soebagyo. Fakta telah membuktikan bahwa karya itu pernah dimiliki oleh perpustakaan. Bahkan masih terdaftar di buku induk perpustakaan, dengan catatan buku itu telah diserahkan ke pihak hukum karena dilarang beredar.

Karya Lambang Soebagyo adalah sebuah kesalahan besar bagi sebuah keluarga konglomerat bisnis. Kisahnya yang sangat nyata membuat sebuah keluarga menjadi tersinggung. Semua bermula dari api cinta yang membuat seorang Lambang Soebagyo jatuh cinta pada salah satu anggota keluarga si konglomerat bisnis. Namun perbedaan status melarang mereka untuk saling mencintai. Dan perjalanan memperjuangkan cintanya pun ia tuangkan dalam sebuah karya.

Aeda dan Sam termenung mendengar sebagian kisah klasik yang diceritakan oleh Si bapak tua. Kisahnya berakhir menggantung. Namun kehidupan Lambang Soebagyo yang berujung seperti kisah Romeo dan Juliet itu cukup membuat hati Aeda bergetar.

“Peredaran karyanya tidak terlalu luas. Dan sebenarnya karya itu tidak pernah diterbitkan oleh penerbit mana pun,” jelas Si bapak tua.

“Lantas?” Aeda terheran.

Self publishing. Seseorang dapat menerbitkan sebuah karya tanpa melalui penerbit. Dan karya itu dapat beredar setelah mendapat nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional.”

Si bapak tua kembali ke meja kerja setelah Aeda tidak memberi pertanyaan lagi.

Mendadak Aeda merasa buntu. Buku yang dicari sudah dimusnahkan. Selamanya Aeda tidak akan pernah membaca keseluruhan karya klasik Lambang Soebagyo. Sekarang yang Aeda pikirkan adalah pria tua yang dijumpai di toko. Dalam benaknya Aeda bertanya untuk apa si pria tua itu memberi tantangan yang tidak mungkin Aeda lakukan. Apa hanya gurauan? Tidak. Orang cerdas dan berilmu tidak bertutur tanpa tujuan.

Sekali lagi Sam harus membujuk Aeda untuk keluar dari perpustakaan, sekaligus untuk mengakhiri pencarian karya yang telah musnah sejak lima belas tahun lalu. Tak ada kata tanya lagi yang disampaikan Aeda, kecuali dalam hatinya yang masih merasa ganjil.

Di meja baca pengunjung, sebuah koran dengan salah satu headline-nya telah menarik perhatian Aeda. 

PUTRI LAMBANG SOEBAGYO RELA MENULIS DAN
MENDONGENG TANPA DIBAYAR

Aeda langsung menyambar Koran Harian kota Jakarta itu. Dalam sekejap tangannya langsung membuka halaman selanjutnya yang memuat berita yang telah menggunggah hatinya. Dari berita itu Aeda mendapat harapan baru lagi.

“Semua telah berakhir. Pengarangnya sudah tidak ada. Kamu tidak berpikir untuk menemuinya, kan?” Sam berusaha mengusik Aeda.

“Berhentilah menemaniku kalau kamu sudah merasa capek,” jawab Aeda tanpa melepaskan matanya dari berita koran.

Sam tidak berkomentar lagi. Ia hanya menurut saat Aeda memutuskan untuk melanjutkan pencarian. Meskipun hari mulai sore, tapi tekadnya telah membuat energi sore itu menjadi lebih positif. Sam masih tidak menyangka dirinya akan terlibat dalam pencarian yang menurut Aeda masih belum selesai. Aeda pun terus menggenggam koran yang ternyata memuat alamat orang yang konon putri dari pengarang yang karyanya belum sempat Aeda baca.

Langit sore menyambut baik tekad Aeda. Ia tahu harus pergi ke arah mana untuk sampai di pedesaan yang ada di puncak kota Bandung. Jujur, Aeda sangat bersyukur ternyata dirinya pernah berkunjung ke tempat itu. Sebuah pondok baca khusus untuk anak-anak desa yang rata-rata kurang minat dalam hal membaca.

Diantara pepohonan yang rindang dan teduh terdapat rumah kayu sederhana. Selasarnya dilengkapi meja-meja kecil dan papan tulis berwarna hitam. Buku-buku bacaan yang sudah lusuh pun tertumpuk di salah satu meja. Bisa dibayangkan bahwa tempat terbuka itu sangat ramai oleh anak-anak ketika siang hari. Aeda yakin tidak salah tempat. Ia pernah kemari sebelumnya untuk membuat video dokumentasi.

Aeda dan Sam masih berdiri di depan selasar rumah. Mereka tidak berani mengotori selasar itu dengan sepatunya. 

“Loh, Mbak Aera, udah sore begini kok malah matung di luar rumah. Udah mau maghrib loh,” kata seorang gadis penuh keakraban.

Aeda yakin gadis itu salah mengenalinya. “Maaf, saya bukan Aera. Justru saya yang ingin bertemu dengan Aera.”

“Mbak Aera ini memang suka bercanda.”

Aeda menoleh ke arah Sam. Akhirnya Sam pun memperjelas maksudnya, “Maksdunya kami ingin bertemu seseorang di rumah ini yang bernama Aera Soebagyo.”

Akhirnya mereka bertiga menjadi sama-sama bingung. Gadis itu masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Aeda dan Sam untuk menunggu di selasar. Tak lama kemudian seorang gadis lain muncul dari balik pintu. Aeda sangat terkejut ketika melihat wajah dirinya ada pada tubuh orang lain. Seperti duplikasi. Hanya saja yang ada di hadapannya adalah Aeda versi gadis desa. Cara berpakaiannya sangat sopan dan tidak terbuka. Berbeda dengan dirinya yang asli, modern dan gaya, tapi sedikit menyalahi norma. 

Aeda masih tidak percaya bahwa gadis itu juga terlahir dari jenis gen dan rahim yang sama. Jujur, Aeda tak pernah menghiraukan cerita dari orang tua angkatnya, bahwa ia memiliki kembaran.  Bahkan Aeda juga masih tidak percaya bahwa pengarang terkenal itu adalah induk dari gen yang ada di dalam tubuhnya. Sementara di sampingnya, Sam hanya melongo melihat dua gadis kembar yang tak pernah disangka akan bertemu dalam pencarian konyol yang tidak disengaja.

“Saya Aera Soebagyo. Jika memang sayalah orang yang kalian cari.” Gadis bernama Aera itu mengenalkan dirinya dengan sopan dan rendah hati.

Perlahan Aeda mendekat. Ia memandang lekat-lekat seperti sedang melihat dirinya di dalam cermin. Hatinya mendadak melemah oleh keadaan itu.

“Tolong katakan sesuatu yang lain,” pinta Aeda pada Aera dengan nada lemah.

Aera sedikit tertunduk malu. Namun di wajahnya terlihat ada kebahagiaan yang berhasil membuat bibirnya sedikit tertarik ke samping. “Mungkin ini adalah jawaban atas do’a saya selama ini.”

Aeda dan Aera. Mereka sama-sama tersenyum dan saling memeluk. Saling menyatukan energi rindu yang telah lama minta dibasuh.

Aeda merasa seperti mendapat hadiah berganda. Bukan karya Lambang Soebagyo saja yang pada akhirnya ia temukan dalam bentuk tulisan asli, bukan cetakan. Tapi ia juga menemukan saudara kandungnya yang tidak sempat terpikir dalam otaknya. Bahkan dalam dirinya yang lain, Aeda melihat arti sebuah ketulusan yang mampu melumpuhkan narsisme dalam dirinya. Dan satu pelajaran baru yang Aeda peroleh dari Lambang Soebagyo, menulislah hingga sisa energi yang dimiliki. 


-Selesai-

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini