Vantage Ground (3)



SIERRA TERBANGUN ketika kereta kuda yang ditumpangi melewati jalan berlubang sehingga menimbulkan beberapa kali guncangan. Matanya masih sayu dan terasa berat untuk membuka. Tiupan angin dari luar jendela kereta menerpa wajah anggun Sierra dan mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Kesegaran udara negara Lumosa membangkitkan syaraf di bawah kulit putih Sierra. Ia terbangun. Pemandangan di luar jendela kereta membuatnya melongok ke arah pemandangan itu. Pepohonan saling terbentang di seluruh bukit Negara Lumosa. Angin menggerakkan dedaunan dan membawa aroma wangi yang menenangkan. Sierra terpesona dengan keanggunan tanah kelahirannya.

“Kau sudah sampai di Lumosa, Nona” kata kusir kereta.

Sierra beralih ke jendela yang satunya. Di sana tampak para pedagang menggelar barang dagangannya di toko-toko kecil. Kendaraan kereta kuda dengan geladaknya yang terbuka saling berjejeran menunggu penupang yang datang.

“Tuan, mengapa kau tidak mengantarku sampai gerbang istana?” tanyanya dengan nada kecewa.

“Ini sudah aturannya kendaraan dari negara lain tidak bisa memasuki wilayah istana. Sebaiknya Nona menaiki kereta yang itu” kata sang kusir sambil menunjukkan jarinya ke arah kereta kuda dengan geladaknya yang terbuka.

Sierra menarik napas dengan sangat dalam sebagai tanda kesal. Ia tidak suka menunggang kereta yang ditunjuk kusir itu. Ia berpikir kereta seperti itu tidak dapat menyembunyikan privasinya. 

Kusir kereta membantu Sierra menurunkan kopernya. Dan tak lama setelah itu langsung meninggalkan Sierra. Tiba-tiba seorang kusir mendekatinya untuk menawarkan kendaraannya.

“Nampaknya kau membutuhkan kendaraan, Nona” Tawarnya.

“Ya tentu. Antarkan aku ke istana”

“Boleh ku bawakan kopermu?” kata kusir itu menawarkan bantuan.

“Tidak, terima kasih” jawab Sierra sambil menggelengkan kepala.

Sierra mengikuti sang kusir menuju kereta yang akan ditungganginya. Sebenarnya beban kopernya terlalu berat sehingga ia harus membawanya dengan dua tangan. Tapi itu masih tidak membantu meringankan, justru memperlambat jalannya. Tiba-tiba seseorang mendesaknya dari samping sehingga membuat Sierra berhenti seketika. Tanpa menghiraukan orang yag menyebabkannya terdesak, ia langsung melanjutkan jalannya dan semua terasa lebih ringan. 

Ia tidak membawa kopernya. Tangannya kosong. Kepanikan tampak di raut wajah Sierra. Mencoba berjalan memutar ke tempat dia turun dari kereta sebelumnya. Kopernya memang tidak ada. Dengan penuh tergesa-gesa ia berjalan setengah berlari menuju tempatnya tadi didesak orang yang tak dikenal. Kakinya menuntun berjalan ke jalan utama menuju istana. Tak nampak seseorang membawa koper miliknya. Yang ada hanya orang-orang asing yang tidak ia kenal sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sempurna. Kehilangan semua barangnya di hari pertama kembali ke tanah kelahiran.

“Nona, kau tampak bingung. Masih membutuhkan jasa transportasiku?” Tanya kusir kereta yang tadi telah dipesannya dengan keraguan.

Sierra mengerutkan keningnya sambil mencoba mengatur napasnya agar stabil. Tampak hatinya sangat kesal. 

“Koperku dirampok, dan semua barangku ada di dalamnya. Termasuk uangku” terangnya.

“Sangat malang. Tapi setidaknya kau masih mempunyai harta yang lain”

“Tidak. Semua barangku ada di koper” kata Sierra dengan nada putus asa.

“Apa itu kalung emas?” tanya sang kusir sambil menunjuk kalung yang menempel di leher Sierra.

Sierra menunduk sambil memegangi kalungnya. “Tentu saja.” Sebenanya kalungnya terlalu mahal untuk membayar angkutan kereta kuda. Namun ia memang membutuhkan itu. Akhirnya Sierra melepas kalung emasnya dan memberikan pada sang kusir. “Antarkan aku sampai gerbang istana” perintahnya pada kusir.

Kereta kuda itu melaju menyusuri jalan besar. Sepanjang jalan terlihat pertokoan kecil dan beberapa tempat penginapan. Kota ini terlihat lebih klasik dibandingkan dengan negara tempat ia belajar, Inggris. Jarang ditemukan bangunan tinggi. Kebanyakan bercat coklat bata dan krem. Beberapa tanaman kecil tampak menghiasi halaman dan teras-teras bangunan. Seperti yang Sierra lakukan dulu di tempat tinggalnya dulu. Ia sengaja menanam beberapa tanaman untuk membuat ramuan dan aroma terapi.

Wilayah perkotaan telah berlalu. Kereta segera meluncur menuju jalan utama keoak istana. Di kedua sisinya tak ada satu pun bangunan. Yang ada hanyalah puluhan pohon Oak Quercus dan jenis pohn lainnya. Tentunya itu adalah perbatasan wilayah kota tempat rakyat menetap dengan wilayah istana. Semakin jauh melaju, pepohonan pun semakin jarang dan berganti menjadi padang rumput yang lebih mirip seperti sebuah taman. Sepuluh meter tepat di depan Sierra berdiri kokoh bangunan yang sangat megah dengan gerbang besi yang kuat. Sierra benar-benar telah sampai di gerbang istana.

“Seperti yang kau lihat, Nona. Kau telah sampai di depan istana” kata kusir menghadap ke arah Sierra.

“Tentu.” 

Sierra terpukau dengan apa yang ada di depannya. Tempat ia dilahirkan dulu. Seketika itu Sierra malah teringat dengan surat dari si pengirim yang misterius tentang kematian ayahnya karena mendapat hukuman mati. Sedangkan ibunya menjadi tahanan. Hanya sang ibu yang perlu ia temui, entah bagaimana pun caranya.

Sierra mendekati gerbang istana dan memegang besi gerbang itu dengan kedua tangannya. Rumput hijau yang halus membentang menghiasi taman istana. Kolam air mancur di tengah taman memberikan pemandangan yang menawan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang penjaga dengan suara berat.

“Tuan penjaga yang terhormat” salam Sierra pada penjaga tersebut sambil setengah membungkukkan badan. “Aku Sierra Gaund putri dari Britanie Graund. Tepatnya aku adalah keponakan Raja Stalasclaus, dan pangeran Kristan adalah sahabat kecilku. Tapi sebenarnya aku hanya ingin bertemu ibuku” jelas Sierra dengan nada antusias.

“Jadi kau anak Russell Bill.”

“Bukan, aku putri Britanie Graund.”

“Bahkan putrinya sendiri tidak mengakui ayahnya, bagaimana Sang Raja” kata si penjaga pada penjaga di sebelahnya dengan nada tertawa.

“Bisakah kalian membuka gerbangnya? Aku harus menemui ibu, aku sudah berjanji.”

“Sayangnya Raja telah menutup gerbang untuk para darah pengkhianat” kata penjaga sambil mengangkat dagunya.

“Darah pengkhianat?”

“Ayahmu mendapat hukuman mati karena telah mengkhianati Raja, sementara ibumu menjadi tahanan. Mungkin sebentar lagi dia akan menyusul suaminya.”

Sierra mengerutkan dahi, dan pegangannya pada besi semakin kuat. Amarah telah menguasai dirinya sehingga menuntun dirinya untuk mendaratkan telapak tangannya di pipi si penjaga. Tamparan keras tepat mengenai si penjaga. “Raja tidak akan melakukan itu pada adik kandungnya sendiri” kata Sierra dengan nada tegas.

Si penjaga nampak tidak terima dengan hal yang telah Sierra lakukan padanya. Penjaga itu memasukkan kedua lengannya melalui celah-celah batang besi dan menarik kerah pakaian Sierra. Dagu Sierra membentur batang besi dengan sangat keras hingga ia meringis kesakitan. Sekarang giliran Sierra atas perlakuan kasar si penjaga. 

“Kau adalah darah pengkhianat, dan tidak akan pernah masuk ke istana” kata penjaga sambil membentak ke wajah Sierra. 

Sierra hanya diam. Tak lama kemudian si penjaga melepaskan cengkeramannya dengan sangat kasar hingga Sierra terpental.

“Pergi dari sini dan jangan datang lagi, darah pengkhianat!” kata terakhir si penjaga sebelum pergi meninggalkan Sierra. Begitu pula dengan Sierra, ia mulai menjauhi gerbang istana dengan penuh amarah dan sakit hati.

Vantage Ground (2)



BRITANIE TERUS menyusuri jalanan bersemak dan memasuki hutan yang rimba. Tak tersirat sedikitpun rasa takut dalam dirinya. Ia hanya fokus pada kehidupan yang lebih baik saat di tidak lagi di istana. Tiba-tiba seekor kuda hitam lain menyusul kecepatan kuda yang ditungganginya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Begitu tidak ada pohon yang menghalangi di depannya. Penunggang kuda di sampingnya mengulurkan tangan. Britanie meraih tangannya dengan kuat dan melemparkan tubuhnya ke kuda hitam di sampingnya dan membiarkan kuda putih milik istana pergi ke arah lain. Kini kuda itu ditunggangi oleh dua orang. 

Kuda itu terus berlari tanpa berhenti sedikit pun, seakan-akan tidak ada halangan di depannya. Semua semak belukar yang dilewatinya langsung roboh dan seolah membuka jalan baru. Penunggang kuda itu terus menarik kudanya dengan kencang sehingga kuda hitam itu berlari semakin kencang. Suara-suara kuda lain saling bertautan dan suara kakinya semakin bergemuruh mengikuti sasaran paling depan. Pastilah itu kuda para prajurit istana. Mereka tak hanya mengejar, melainkan juga menyerang sasaran dengan senjata panah dan senapan.

Britanie ketakutan setengah mati sehingga harus melingkarkan tangannya di bagian perut si pengendara kuda. Suara-suara kuda istana mulai meleburkan kepercayaan Britanie akan adanya kebahagiaan bagi dirinya dan pria yang dicintainya. Sebaliknya malah memunculkan hal-hal yang mengerikan akan terjadi jika mereka tertangkap oleh para prajurit istana.

Sebuah busur mengenai batang pohon oak, dan tertancap dengan sangat mantap. Britanie memutar lehernya ke arah belakang. Ia sadar bahwa para prajurit istana memang memburunya dengan beberapa serangan. Ia tidak berinisiatif untuk menggunakan senjata untuk balik menyerang para prajurit, ia hanya mempercayakan semuanya pada pria yang ada di dekapannya. Britanie mempasrahkan hidup dan matinya untuk bersama pria itu. Dan tidak ingin terpisah lagi.

Kali ini anak panah yang diluncurkan oleh para prajurit mengenai paha kuda hitam Britanie. Kuda itu spontan berhenti sebentar dan merintih kesakitan. Namun si penunggang tetap menariknya agar tetap berlari sesuai kehendaknya. Kini kuda para prajurit semakin dekat dengan kuda Britanie yang sudah tidak mempu berlari kencang. Tak dapat dipaksakan lagi ketika kaki kanan-depan kuda Britanie terkena anak panah. Kudanya sudah lumpuh dan bersimpuh di tanah. Pria yang didekapnya langsung menarik Britanie untuk lari dari kejaran para prajurit. Mereka terus berlari dan memilih untuk berseluncur di jurang yang penuh dengan semak-semak belukar.

Britanie tidak selincah pria yang sedari tadi diikutinya. Rok panjangnya yang tebal tersangkut diantara ranting pohon yang berserakan di tanah. Britanie berhenti sementara untuk melepaskan roknya yang tersangkut. Pria itu langsung menyusul Britanie dan langsung merobek roknya hingga terlepas dari ranting-ranting pohon. Dengan penuh tergesa-gesa ia menuntun Britanie lagi untuk melanjutkan pelariannya dari para prajurit.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Kengerian menyelimuti hati Britanie saat sebuah benda runcing menyusup ke punggung pria yang dicintainya. Pria itu mulai berlutut dan terkulai lemah. Britanie mencoba menyangganya agar tidak terjatuh. Ia meletakkan kedua tangannya ke pipi pria itu untuk memastikan bahwa pria itu masih bisa melihat dirinya. Matanya berair karena menahan rasa sakitnya. Sesaat kemudian pria itu menjatuhkan kepalanya di pelukan Britanie. Ia hanya pingsan. Udara hangat masih Britanie rasakan keluar dari hidung pria itu. Ia masih hidup. Bahkan Britanie melihat pria itu sedikit membuka matanya saat mereka dipisahkan oleh para prajurit istana.

Angan-angan untuk hidup bahagia bersama pria yang dicintainya telah lenyap. Britanie harus disekap di kamarnya lagi. Sedangkan Russell harus mendekam di sel tahanan kerajaan. Raja Stalasclaus sengaja menunda hukuman mati Russell. Raja ingin memancing pihak Kerajaan Sandria datang ke istana untuk menebus si provokator yang sekarang sedang ditahannya. Namun satu tahun kemudian tak ada musuh maupun pemberontak yang datang ke istana. Raja beranggapan bahwa Russell tidak lagi dibutuhkan oleh Kerajaan Sandria. 

Hukum tetaplah hukum. Semua pengkhianat kerajaan harus dihukum mati karena telah mengancam kedamaian Negara Lumosa. Kedamaian adalh mutlak sebagai negara kerajaan. Begitulah akhir dari kehidupan Russell. Ia dihukum mati. Sekali lagi kepedihan menyelimuti hati Britanie karena ia harus kehilangan pria yang sangat dicintainya. Kini hatinya sangat beku, namun jiwanya dipenuhi dengan rasa marah sekaligus frustasi.

Vantage Ground (1)



BRITANIE GRAUND tidak pernah mendapat restu dari ayahnya untuk menikah dengan seorang lelaki pengrajin besi bernama Russell Bill. Kedatangannya tidak pernah disambut dengan hormat oleh Sang Raja. Bahkan Russell tidak akan pernah diterima di istana. Namun besar cinta Britanie pada Russell tidak meruntuhkan niatnya untuk tetap menikah dengan Russell --- walaupun tidak dengan restu Sang Raja.

Akhirnya Britanie kabur dari istana dan memulai kehidupan barunya bersama Russell di sebuah desa yang terletak di perbukitan Arawa. Namun itu tidak bertahan lama. Enam bulan kemudian ayahnya --- Raja Ernand menyuruh prajurit istana untuk mencari keberadaan putrinya. Tidak bisa terelakkan bahwa Britanie harus kembali ke istana dan menjadi tahanan kerajaan--- belum, melainkan karena Raja jatuh sakit dan menginginkan Britanie berada di istana. Britanie tak dampat menyangkal bahwa saudara laki-lakinya yang akan menggantikan tahta Raja. 

Dua bulan sebelum Raja meninggal, Stalasclaus sudah resmi menggantikan ayahnya. Dan atas perintah mendiang sang raja, Stalasclaus harus menjadikan adiknya sebagai tahanan. Britanie disekap di dalam kamarnya. Bukan kamar. Ia menyebutnya sebagai ruang sel tahanan karena menurutnya perlakuan ini terlalu kasar baginya. Saat itu Britanie harus memendam dua kesedihan sekaligus, kehilangan ayahnya dan terpisah dari pria yang dicintainya. Ia sangat frustasi dan tidak mempunyai semangat hidup.

Kabar mengejutkan datang setelah sembilan bulan kemudian, bahwa ternyata Britanie telah melahirkan seorang bayi cantik. Tidak ada yang mengetahui kehamilannya selama ia menjadi tahanan. Hanya seorang tabib dan dua orang pembantu yang sering membersihkan kamar dan mengantarkan makan yang mengetahuinya. Namun mereka tidak terlalu peduli.

Dengan dilahirkannya seorang bayi Britanie memberanikan diri untuk memohon kepada saudaranya agar ia tidak disekap sepanjang hari. Ia meminta agar diberi sedikit kebebasan untuk menghirup udara segar di sekitar taman istana saat mengasuh anaknya. Dengan penuh rasa haru Raja Stalasclaus mengabulkan permintaan adiknya dengan syarat harus dengan pengawalan ketat. 
Britanie semakin percaya bahwa anaknya akan mempermudah semua rencana yang telah ia siapkan. Beberapa kali Britanie berhasil mengalihkan prajurit saat mengawasinya sehingga ia bisa menyempatkan mengajak anaknya untuk bertemu Russell. Meskipun sebentar namun pertemuan keluarga kecil itu terlihat lebih lengkap. Bahkan si anak sangat menyambut sang ayah dengan wajah ceria, tidak seperti mendiang kakeknya. 
Di sela-sela pertemuan itu Britanie mencoba membicarakan rencana yang telah dibuatnya. Tak perlu menjelaskan terlalu banyak untuk membuat Russell paham. Masing-masing telah mengerti apa yang harus mereka lakukan. Russell harus memprovokasi musuh Kerajaan Lumosa untuk menggulingkan Raja Stalasclaus. Sebenarnya yang Russell inginkan bukan untuk menggulingkan raja, melainkan membawa kabur adiknya. Mereka sangat menginginkan hidup bersama lagi dan jauh dari Kerajaan Lumosa.  
Setelah pembicaraan selesai Britanie segera menggandeng buah hatinya untuk pergi. Tanpa membuat kecurigaan dari pengawal istana, Britanie segera menaikkan anaknya ke kereta kuda. Kusir kereta langsung menarik kudanya agar segera berjalan. Sedangkan di belakang tampak dua pengawal istana yang mengikutinya.
Keesokan harinya kerajaan dikejutkan dengan sekelompok pasukan berkuda. Pasukan itu mengacaukan tempat tinggal penduduk sehingga mereka ketakutan. Target empuk mereka adalah istana, singgasana sang raja. Pasukan itu dipimpin oleh seorang Duke dan beberapa prajurit utama lainnya. Mereka menuntut Raja untuk keluar dan segera melakukan diplomasi. Sebenarnya Raja telah mengetahui maksud kedatangan pasukan perang dari Kerajaan Sandria. Mereka menuntut sebagian kecil wilayah kekuasaan Kerajaan Lumosa. Sengketa ini sudah sepuluh tahun tidak dibahas. Entah apa yang membuat pihak Kerajaan Sandria membahas sengketa lama tersebut.
Britanie dan putrinya telah bersiap untuk pergi dari istana. Ia menyusuri lorong yang menuju pintu gerbang belakang istana. Dua ekor kuda telah menanti. Satu ekor berwarna hitam pekat dan telah ditunggangi seseorang yang mengenakan pakaian baja serta penutup kepala sehingga tak ada yang mengenali penunggang tersebut. Dan satu ekor lagi berwarna putih polos yang pastinya Britanie sendiri yang akan menungganginya. Tanpa menunggu waktu lebih lama Britanie segera menaikkan anak kecil berusia 13 tahun itu ke kuda yang telah ditunggangi oleh entah prajurit atau siapa. Tak ada yang mengenali wajahnya. Britanie hanya meminta putrinya tidak kembali ke istana sebelum bertemu dengannya di suatu tempat. Hanya itu. Prajurit pun langsung menarik kudanya untuk segera berlari.
Tak lama setelah kuda yang dinaiki putrinya berlalu Britanie langsung bergegas ke kudanya. Ia sadar bahwa Pangeran Kristan menyaksikan saudara sepupunya dibawa kabur. Ratu Prisca juga menyaksikan sekilas setelah kuda putrinya telah meluncur. Britanie tidak mau mempedulikan aksinya yang telah diketahui oleh ratu. Ia tahu apa yang akan dilakukan ratu saat mengetahui dirinya kabur dari istana.

Ketika Menunggu adalah Tanda Cinta


Aku terus menyusuri rak-rak buku, sesekali aku mengambil beberapa buku lalu dibuka beberapa lembar dari buku itu. Namun setelah dibuka-buka tidak semua buku yang aku ambil sesuai dengan yang diharapkan. Isinya tak semenarik dengan judul yang terbaca di cover buku. Aku terus mencari buku yang  pantas untuk menemaniku menunggu seseorang.

Aku terus membaca buku-buku yang sebenarnya tidak ingin ku baca. Sambil terus membuka lembaran-lembaran buku, sesekali aku mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk ruang baca umum perpustakaan. Aku berharap seseorang yang sedang ku tunggu sejak setengah jam yang lalu akan segera hadir menepati janjinya. Janji yang telah dia buat melalui telefon.

Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB. Itu berarti dia sudah terlambat 30 menit. Seandainya saja dia bukan orang yang kutunggu selama ini pasti aku akan pergi sekarang juga. Meskipun hanya sebatas teman, namun selama satu tahun ini aku berharap dia masih mengingatku dan mau bertemu denganku setelah dia pulang dari tempat perantauannya. Jakarta.

Tepatnya satu tahun yang lalu aku dan dia selalu belajar dan mengerjakan tugas bareng di perpustakaan ini. Ketika membahas suatu buku yang berjudul Jakata, dia sempat bilang akan merantau di kota itu untuk bekerja selama satu tahun. Setelah itu dia akan kembali ke Jogja lagi untuk meneruskan studi di universitas yang sama dengan aku. Dan inilah saatnya dia kembali dan menemuiku sesuai dengan janjinya satu tahun yang lalu.

Untuk mengingat masa saat bersamanya, aku sering berkunjung ke perpustakaan ini untuk mengisi hariku yang sepi. Dan buku yang kubaca selalu sama, yaitu novel karangan Marga T, dan buku-buku yang berbau sejarah. Itu semua buku kesukaannya.

“Maaf mbak, boleh pinjam buku itu? Supersemar Palsu” Kata seorang remaja cowok yang nampaknya adalah anak SMA, dia masih mengenakan seragam identitas sekolahnya.

Aku lumayan dikagetkan olehnya. Bahkan aku tidak sadar kalau di depanku ada orang.

Sejak kapan dia duduk di situ. Kataku dalam hati.

“Boleh kok. Ini.” Kataku sambil menyodorkan buku yang dia maksud. “Suka baca buku sejarah ya?” Tanyaku berusaha untuk basa-basi dengannya.

“Enggak juga sih mbak. Kebetulan aja aku ada di jurusan IPS, jadi buat nambah pengetahuan mata pelajaran sejarahku saja” Katanya sambil membuka buku yang sudah diterimanya.

Aku mengangguk sebagai tanda respon atas jawabannya tadi. Lalu aku melanjutkan pada buku yang sedang kubaca.

Tak terasa perpustakaan sudah mulai sepi, orang-orang mulai meninggalkan perpustakaan satu per satu dan ada yang segera menuju ke tempat peminjaman terlebih dahulu. Cowok SMA itupun beranjak berdiri dan membawa buku yang tadi diminta dariku.

“Mbak, duluan ya. Udah sore nih, udah mau tutup perpustakaannya.” Ramah tamahnya.

“Oke.” Kataku singkat. Lalu kualihkan kearah jam tanganku. Pukul 15.45.

Aku pun melihat ke arah sekelilingku untuk memastikan bahwa masih ada orang lain selain aku. Dan ternyata tinggal tersisa tiga orang pengunjung termasuk aku. Beberapa petugas perpustakaan mulai membereskan buku yang ada di meja baca dan mengembalikkan ke rak buku. Salah seorang petugas pun membereskan kursi yang tadi diduduki cowok SMA.

“Udah dulu ya mbak, perpustakannya mau tutup.” Katanya memberi peringatan.

“Iya mas.” 

Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku dan dengan cepat berjalan menuju pintu keluar ruag baca. Lalu segera mengambil tas yang tadi kutitipkan di tempat penitipan barang.

Dalam perjalanan pulang aku hanya bisa memendam rasa kecewaku, bahkan aku di dalam bis aku sempat menangis. Aku tak habis pikir dia bisa mengingkari janjinya sendiri, padahal dia dulu bukan tipe orang yang mudah membuat janji lalu mengingkarinya sendiri. Dalam pikiranku, mungkin dia sudah berubah dan sudah tidak mau berteman denganku lagi sehingga dia tak mau menemuiku.

Bis yang kutumpangi pun berhenti di depan gapura perumahan, dan aku pun segera turun dari bis. Saat itu pula hujan mulai turun ikut mengiringi kekecewaanku.

“Aku benci hujan, aku nggak rela badanku basah kuyup.” Kataku seorang diri.

Seharusnya aku sudah pulang dari tadi jika tidak menunggu orang yang tidak jelas itu. Dan saat hujan turun seharusnya aku sudah ada di rumah sehingga tidak perlu basah-basahan. Gumamku dalam hati.

Akhirnya mau tidak mau aku pun berteduh di gapura perumahan. Masih beruntung gapura ini ada atapnya, kalau tidak ada atapnya mungkin aku sudah basah kuyup. Sekarang aku hanya bisa menatapi rintik-rintik hujan sambil menyandarkan tubuh ke dinding yang terasa dingin ini.

Dari arah perumahan terlihat sebuah motor yang nampaknya akan keluar dari perumahan. Tapi aku tidak peduli itu, aku tetap pada posisiku. Sesampainya di tempatku berteduh, motor itu berhenti. Saat pengendara motor melepas helmnya aku pun langsung tercengang. Senang namun juga kecewa. Aku hanya memandangnya sebentar kemudian mengalihkan pandanganku ke arah rintik-rintik hujan.

“Aku tidak menyangka kamu akan mengingkari janjimu sendiri.” Kataku sambil memalingkan muka.

“Asal kamu tahu saja, aku dari tadi menunggumu di tempat yang kau janjikan. Di perpustakaan. Bahkan sampai perpustakaan mau tutup. Kamu tau kenapa? Aku sangat berharap kamu akan datang. Tapi ternyata kamu lupa semuanya. Aku kecewa. Seharusnya aku tidak pernah berhaap apa pun sama kamu.” Lanjutku dengan emosi yang meluap-luap. Dan aku pun tidak tahan lagi membendung air mataku. Aku menangis di depannya. 

“Dengarkan aku….” 

“Sudah cukup! Semua sudah jelas kalo kamu memang sudah lupa sama aku, atau mungkin sudah tidak mau berteman sama aku.” Kataku memotong pembicaraannya yang tadi baru dimulainya. 

Dia memegang kedua pundakku berusaha menguatkan aku. “Asal kamu tahu juga. Dunia itu sangat sempit, namun tidak semua dapat kita jangkau dengan keterbatasan kita.”

Aku pun melemparkan kedua tangannya dari pundakku. “Jangan banyak basa-basi. Sudah cukup kamu membuat aku kecewa.” Aku pun bergegas menjauh darinya. Saat aku baru membalikkan badan dan menglangkahkan kaki untuk menjauh, dia menahanku dengan memegang pundak kananku.

“Ada hal yang harus kamu tahu.” Katanya dengan tegas. “Aku juga menunggu kamu di perpustakaan” Lanjutnya.

Aku sangat terkejut ketika mendengar kata-kata itu. Perlahan aku membalikkan badan ke arahnya. “Maksud kamu?”

“Tadi aku menunggu kamu di perpustakaan sejak jam 14.15. Aku tahu memang aku terlambat, tapi setidaknya aku tetap datang. Dan aku menunggu kamu di ruang referensi. Tapi saat menjelang jam tutup perpustakaan kamu tidak segera datang. Aku pun bergegas pergi dari perpustakaan. Aku juga berpikir untuk langsung berkunjung ke rumah kamu, tapi ternyata kamunya juga nggak ada. Makanya aku juga tadi sempat bingung. Tapi setelah mendengar penjelasanmu tadi aku pun sangat lega.  Ternyata kita saling menunggu.” Jelasnya sangat panjang namun dengan penuh keyakinan.

Aku pun langsung luluh dengan semua penjelasan tadi. Akhirnya emosiku pun mereda. Dan aku speechless

“Tidak apa-apa, kamu tidak harus bilang apa-apa lagi. Biar aku yang bilang bahwa aku cinta kamu.” Katanya dengan manis, semanis senyum yang terpasang di wajahnya.

Seketika itu aku langsung terharu sekaligus menyesal telah berpikiran yang tidak-tidak. Ternyata benar katanya tadi, bahwa dunia itu sempit namun kita tidak bisa menjangkau semuanya dengan keterbatasan kita. Akhirnya penantianku selama ini berbuah manis. Aku sangat bahagia dengan perasaan indahku saat ini. Aku tambah speechless dan hanya bisa tersenyum. Aku rasa dia tahu bahwa aku juga cinta dia. (Selesai)

Cari Blog Ini