Vantage Ground (3)



SIERRA TERBANGUN ketika kereta kuda yang ditumpangi melewati jalan berlubang sehingga menimbulkan beberapa kali guncangan. Matanya masih sayu dan terasa berat untuk membuka. Tiupan angin dari luar jendela kereta menerpa wajah anggun Sierra dan mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Kesegaran udara negara Lumosa membangkitkan syaraf di bawah kulit putih Sierra. Ia terbangun. Pemandangan di luar jendela kereta membuatnya melongok ke arah pemandangan itu. Pepohonan saling terbentang di seluruh bukit Negara Lumosa. Angin menggerakkan dedaunan dan membawa aroma wangi yang menenangkan. Sierra terpesona dengan keanggunan tanah kelahirannya.

“Kau sudah sampai di Lumosa, Nona” kata kusir kereta.

Sierra beralih ke jendela yang satunya. Di sana tampak para pedagang menggelar barang dagangannya di toko-toko kecil. Kendaraan kereta kuda dengan geladaknya yang terbuka saling berjejeran menunggu penupang yang datang.

“Tuan, mengapa kau tidak mengantarku sampai gerbang istana?” tanyanya dengan nada kecewa.

“Ini sudah aturannya kendaraan dari negara lain tidak bisa memasuki wilayah istana. Sebaiknya Nona menaiki kereta yang itu” kata sang kusir sambil menunjukkan jarinya ke arah kereta kuda dengan geladaknya yang terbuka.

Sierra menarik napas dengan sangat dalam sebagai tanda kesal. Ia tidak suka menunggang kereta yang ditunjuk kusir itu. Ia berpikir kereta seperti itu tidak dapat menyembunyikan privasinya. 

Kusir kereta membantu Sierra menurunkan kopernya. Dan tak lama setelah itu langsung meninggalkan Sierra. Tiba-tiba seorang kusir mendekatinya untuk menawarkan kendaraannya.

“Nampaknya kau membutuhkan kendaraan, Nona” Tawarnya.

“Ya tentu. Antarkan aku ke istana”

“Boleh ku bawakan kopermu?” kata kusir itu menawarkan bantuan.

“Tidak, terima kasih” jawab Sierra sambil menggelengkan kepala.

Sierra mengikuti sang kusir menuju kereta yang akan ditungganginya. Sebenarnya beban kopernya terlalu berat sehingga ia harus membawanya dengan dua tangan. Tapi itu masih tidak membantu meringankan, justru memperlambat jalannya. Tiba-tiba seseorang mendesaknya dari samping sehingga membuat Sierra berhenti seketika. Tanpa menghiraukan orang yag menyebabkannya terdesak, ia langsung melanjutkan jalannya dan semua terasa lebih ringan. 

Ia tidak membawa kopernya. Tangannya kosong. Kepanikan tampak di raut wajah Sierra. Mencoba berjalan memutar ke tempat dia turun dari kereta sebelumnya. Kopernya memang tidak ada. Dengan penuh tergesa-gesa ia berjalan setengah berlari menuju tempatnya tadi didesak orang yang tak dikenal. Kakinya menuntun berjalan ke jalan utama menuju istana. Tak nampak seseorang membawa koper miliknya. Yang ada hanya orang-orang asing yang tidak ia kenal sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sempurna. Kehilangan semua barangnya di hari pertama kembali ke tanah kelahiran.

“Nona, kau tampak bingung. Masih membutuhkan jasa transportasiku?” Tanya kusir kereta yang tadi telah dipesannya dengan keraguan.

Sierra mengerutkan keningnya sambil mencoba mengatur napasnya agar stabil. Tampak hatinya sangat kesal. 

“Koperku dirampok, dan semua barangku ada di dalamnya. Termasuk uangku” terangnya.

“Sangat malang. Tapi setidaknya kau masih mempunyai harta yang lain”

“Tidak. Semua barangku ada di koper” kata Sierra dengan nada putus asa.

“Apa itu kalung emas?” tanya sang kusir sambil menunjuk kalung yang menempel di leher Sierra.

Sierra menunduk sambil memegangi kalungnya. “Tentu saja.” Sebenanya kalungnya terlalu mahal untuk membayar angkutan kereta kuda. Namun ia memang membutuhkan itu. Akhirnya Sierra melepas kalung emasnya dan memberikan pada sang kusir. “Antarkan aku sampai gerbang istana” perintahnya pada kusir.

Kereta kuda itu melaju menyusuri jalan besar. Sepanjang jalan terlihat pertokoan kecil dan beberapa tempat penginapan. Kota ini terlihat lebih klasik dibandingkan dengan negara tempat ia belajar, Inggris. Jarang ditemukan bangunan tinggi. Kebanyakan bercat coklat bata dan krem. Beberapa tanaman kecil tampak menghiasi halaman dan teras-teras bangunan. Seperti yang Sierra lakukan dulu di tempat tinggalnya dulu. Ia sengaja menanam beberapa tanaman untuk membuat ramuan dan aroma terapi.

Wilayah perkotaan telah berlalu. Kereta segera meluncur menuju jalan utama keoak istana. Di kedua sisinya tak ada satu pun bangunan. Yang ada hanyalah puluhan pohon Oak Quercus dan jenis pohn lainnya. Tentunya itu adalah perbatasan wilayah kota tempat rakyat menetap dengan wilayah istana. Semakin jauh melaju, pepohonan pun semakin jarang dan berganti menjadi padang rumput yang lebih mirip seperti sebuah taman. Sepuluh meter tepat di depan Sierra berdiri kokoh bangunan yang sangat megah dengan gerbang besi yang kuat. Sierra benar-benar telah sampai di gerbang istana.

“Seperti yang kau lihat, Nona. Kau telah sampai di depan istana” kata kusir menghadap ke arah Sierra.

“Tentu.” 

Sierra terpukau dengan apa yang ada di depannya. Tempat ia dilahirkan dulu. Seketika itu Sierra malah teringat dengan surat dari si pengirim yang misterius tentang kematian ayahnya karena mendapat hukuman mati. Sedangkan ibunya menjadi tahanan. Hanya sang ibu yang perlu ia temui, entah bagaimana pun caranya.

Sierra mendekati gerbang istana dan memegang besi gerbang itu dengan kedua tangannya. Rumput hijau yang halus membentang menghiasi taman istana. Kolam air mancur di tengah taman memberikan pemandangan yang menawan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang penjaga dengan suara berat.

“Tuan penjaga yang terhormat” salam Sierra pada penjaga tersebut sambil setengah membungkukkan badan. “Aku Sierra Gaund putri dari Britanie Graund. Tepatnya aku adalah keponakan Raja Stalasclaus, dan pangeran Kristan adalah sahabat kecilku. Tapi sebenarnya aku hanya ingin bertemu ibuku” jelas Sierra dengan nada antusias.

“Jadi kau anak Russell Bill.”

“Bukan, aku putri Britanie Graund.”

“Bahkan putrinya sendiri tidak mengakui ayahnya, bagaimana Sang Raja” kata si penjaga pada penjaga di sebelahnya dengan nada tertawa.

“Bisakah kalian membuka gerbangnya? Aku harus menemui ibu, aku sudah berjanji.”

“Sayangnya Raja telah menutup gerbang untuk para darah pengkhianat” kata penjaga sambil mengangkat dagunya.

“Darah pengkhianat?”

“Ayahmu mendapat hukuman mati karena telah mengkhianati Raja, sementara ibumu menjadi tahanan. Mungkin sebentar lagi dia akan menyusul suaminya.”

Sierra mengerutkan dahi, dan pegangannya pada besi semakin kuat. Amarah telah menguasai dirinya sehingga menuntun dirinya untuk mendaratkan telapak tangannya di pipi si penjaga. Tamparan keras tepat mengenai si penjaga. “Raja tidak akan melakukan itu pada adik kandungnya sendiri” kata Sierra dengan nada tegas.

Si penjaga nampak tidak terima dengan hal yang telah Sierra lakukan padanya. Penjaga itu memasukkan kedua lengannya melalui celah-celah batang besi dan menarik kerah pakaian Sierra. Dagu Sierra membentur batang besi dengan sangat keras hingga ia meringis kesakitan. Sekarang giliran Sierra atas perlakuan kasar si penjaga. 

“Kau adalah darah pengkhianat, dan tidak akan pernah masuk ke istana” kata penjaga sambil membentak ke wajah Sierra. 

Sierra hanya diam. Tak lama kemudian si penjaga melepaskan cengkeramannya dengan sangat kasar hingga Sierra terpental.

“Pergi dari sini dan jangan datang lagi, darah pengkhianat!” kata terakhir si penjaga sebelum pergi meninggalkan Sierra. Begitu pula dengan Sierra, ia mulai menjauhi gerbang istana dengan penuh amarah dan sakit hati.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini