Look at to Your Umbrella (1)



Waktu menunjukkan pukul 07.45. Dengan tergesa-gesa aku menuju bis yang sudah dari tadi nge-tem menunggu penumpang. Masih tersisa satu kursi kosong di bagian belakang. Tanpa banyak berpikir aku langsung menduduki kursi itu sebelum didahului penumpang lain. Dengan muka acuh aku melewati beberapa penumpang yang sudah merasa nyaman dengan kursi yang mereka duduki. Seorang pria berpakaian rapi khas orang kantoran sepertinya memperhatikan aku. Nampak dia ingin menyapaku tapi mengurungkannya karena sikapku yang tak acuh.

Seorang wanita paruh baya berbadan gemuk di sebelahku terlihat mengambil beberapa lembar uang dari dompet kumalnya, lalu dia bersiap-siap untuk bangkit dari kursi. Jarak antar kursi tidak memungkinkan dia untuk keluar dari kursi dengan lancar. Mau tak mau aku juga turut bangkit dari dudukku dan akhirnya harus berdiri sambil berpegangan. Begitu wanita itu turun, seorang penumpang di sebelah aku berdiri  menyuruhku untuk duduk lagi. Aku hanya senyum sambil mengangguk, tapi tetap berdiri di sebelahnya.

Tak lama kemudian pria yang tadi memperhatikan aku juga turut berdiri, aku rasa dia akan memberikan tempat duduknya padaku. Tapi dia hanya diam dan menyalip berdiri di depanku, lalu segera menyodorkan uang sejumlah tiga ribu pada kenek bis. Dia biasanya turun di depan bank. 

“Mbak, kalau nggak mau duduk silakan duduk di tempat mas yang tadi, daripada menghalangi jalan” kata salah seorang penumpang pria yang duduk di belakang dekat jendela.

Aku pun tidak menggubris perintah pria itu karena sebenta lagi aku turun. Tak lama kemudian aku mendekat ke kenek bis untuk siap-siap turun.

“Depan apotek ya Mas” kataku cuek. 

Kenek itu mengetuk kaca bis dua kali dengan uang logam. Berkali-kali aku naik bis ini, jadi keneknya sudah paham aku harus berhenti di mana. Bis pun berhenti tepat di tempat yang aku maksud.

Tak terasa hari sudah sore. Nampak awan abu-abu sedang mengundang hujan. Aku pun buru-buru keluar dari apotek dan langsung stay menunggu bis yang lewat. Lima menit telah berlalu, namun bis tujuanku tak kunjung lewat juga. Bunyi petir yang terdengar bergemuruh sukses membuatku tambah khawatir akan turun hujan. Mataku pun dengan tajam mengamati setiap identitas bis yang lewat. Dua, tiga bis yang barusan lewat bukan tujuanku semua. 

Dari arah lima meter tampak bis yang sangat aku kenal, bisnya bercat biru muda dengan kaca bening yang bertuliskan “Buana Indah”. Itu bis yang tadi pagi aku tumpangi. Begitu bis berhenti kenek langsung membukakan pintu depan bagian supir. Aku paham maksudnya, semua kursi di gerbong belakang sudah penuh. Saat pintu telah ditutup aku baru sadar kalau penumpang di sebelahku adalah pria yang tadi turun di depan bank. 

“Baru pulang, Dek?” tanyanya dengan ramah.
“Iya…” kataku sambil tersenyum dan sedikit mengangguk. Rasanya tidak enak hati saja ketika Mas Nanda harus menyapaku terlebih dulu. Tetangga satu RT yang jarang ku sapa, padahal kita sering bertemu di jalan maupun di bis. Seperti sekarang ini. Tidak ada obrolan maupun basa-basi. Hanya suara mesin bis dan suara hujan yang berhasil menjaga jarak antara dua penumpang yang saling kenal tapi malas berbicara.

Aku sangat bersyukur gang menuju rumah sudah terlihat. Meskipun masih hujan tapi aku sudah tidak sabar untuk turun bis. Sudah cukup aku dibayangi rasa tidak enak seperti ini.

“Turun gang depan ya, Pak” kata Mas Nanda sambil mengarahkan telunjuknya ke gang yang dimaksud. Lalu dia memberi sejumlah uang pada supir. “Dua ya, Pak” katanya lagi.

Bis berhenti tepat di depan gang. Aku pun langsung membuka pintu dan langsung keluar sambil memayungi kepala dengan telapak tanganku. Mas Nanda mengikutiku sambil memayungi kepala dengan tas kantornya. Hujan yang masih deras membuatku berteduh di depan rumah seorang warga komplek perumahan. Aku mengelap baju yang kukenakan yang sudah lumayam basah. Begitu pula Mas Nanda, dia mengelap jaket yang dikenakan sekaligus tas yang tadi digunakan untuk memayungi kepalanya.

Rasanya sial sekali hujan-hujan begini malah tidak membawa payung. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu hujan agak reda. Ku perhatikan Mas Nanda masih sibuk mengelap tasnya, kemudian dia mengeluarkan payung lipat warna merah maroon. Dan yang tak kusangka dia menyodorkan payungnya padaku. Aku hanya diam dan bingung. Lalu aku menoleh ke arahnya, aku sempat menatap matanya sebelum dia akhirnya membuka pembicaraan lagi.

“Hujan seperti ini biasanya lama redanya, pake saja payungnya” kata Mas nanda, dengan payung masih disodorkan padaku.
“Lalu Mas Nanda gimana?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Aku mah gampang, pake saja” tanggapnya dengan nada enteng.
“Oh gitu, aku pake ya...” kataku sambil menerima payung yang tadi disodorkan Mas Nanda. Aku tak langsung membuka tali payungnya, tapi masih saja berdiam diri.

Tanpa kusadari Mas Nanda sudah siap untuk menerjang hujan. Dia memasukkan tas ke dalam jaket yang dikenakannya. Jaketnya terlihat menggelembung dan nampak lebih besar dari ukuran badan. Ditambah lagi dia menggunakan kerudung jaket untuk melindungi kepala dari terpaan hujan.  

“Duluan ya, Dek” katanya sambil berlalu dihadapanku. Mas Nanda berlari sambil agak membungkukkan badan. Meskipun begitu badannya bisa saja basah kuyub sampai di rumah.

Aku pulang dengan payung yang dipinjami Mas Nanda. Ketika kutengok gang yang menuju rumahnya, dia sudah tidak terlihat. Rumahnya memang lebih dekat dengan gang utama dibandingkan dengan rumahku.
(Bersambung)

SECANGKIR KOPI UNTUK TOMMY (2)



Satu minggu telah berlalu. Aku tidak melihat Tommy maupun Karina berkunjung di kedai ini. Tak seharusnya perpisahan membuat mereka melupakan kedai kopi ini. Terlebih lagi Tommy yang mengatakan bahwa pertemuan itu adalah kunjungannya yang terakhir. Itu berarti kedai ini kehilangan satu pelanggan.
Dua minggu telah berlalu. Aku semakin tidak yakin bahwa Karina akan kembali berkunjung ke kedai ini seperti yang Tommy katakan. Aku tak tau harus apakan surat ini jika Karina tidak datang, padahal aku sudah sanggup akan menyampaikan pada karina. Semakin lama aku pun penasaran denngan isi surat ini, akhrinya lipatan kertas itu aku buka juga. Ku baca dengan saksama setiap baris tulisan Tommy. 

Aku akan tetap bahagia saat kau bersama pria lain yang bisa menemani hidupmu. Aku yakin pria itu tepat untukmu, aku mengenalnya sangat dekat. Bahagialah dengan dia yang ada di sampingmu saat ini. Jangan pikirkan aku. Aku tidak akan hidup lebih lama lagi. Kankerku stadium akhir. Tak lama lagi aku akan pergi.

Sungguh Tommy seorang pria yang berhati besar dan lembut hatinya. Ternyata aku sudah salah mengira bahwa Karina yang menginginkan perpisahan. Padahal Tommy sendiri yang meminta Karina untuk meninggalkannya. 

Seperti yang Tommy katakan bahwa Karina akan datang dengan pria lain. Tepat sekali. Karina tetap terlihat bahagia seperti ketika bersama Tommy. Mungkin Pria itu pilihan Tommy juga. 

Ketika pria itu pergi ke toilet, aku segera mendekati Karina. Dan aku pun langsung memberikan surat itu pada Karina. Tampaknya karina langsung membaca isi surat itu, kemudian segera menyimpannya sebelum pria itu datang kembali. Terlihat kesedihan di wajah cantik Karina. Tapi kesedihan itu dia sembunyikan bersama surat dari Tommy ketika pria itu datang kembali.

Nampaknya atmosfir di meja itu sudah memungkinkan aku untuk mengantarkan pesanan kopi. Dua cangkir kopi favorit Karina. Seleranya tetap tidak berubah meskipun dia sudah bersama pria lain. Biarkan kisah dramatis itu menjadi kenangan utnuk hidupnya. Aku turut berduka akan kisah ini. Apalagi pelangganku hilang satu. Anggap saja pria itu adalah Tommy si pelanggan setia kedai ini. Secangkir kopi untuk Tommy. 
(Selesai...)

SECANGKIR KOPI UNTUK TOMMY (1)



Sejak aku bekerja sebagai karyawan kedai kopi aku jadi tahu ternyata banyak yang menggemari minuman kopi. Ada sepasang pelanggan yang biasanya datang ke sini setiap hari Senin, Jum’at, dan Sabtu. Mereka pun cenderung memilih tempat duduk di paling pojok dekat jendela kaca. Mereka selalu tampak romantis dan serasi. Dan jika ku perhatikan mereka sepertinya kelas orang borjuis. Mereka selalu memesan kopi dengan harga yang mahal.

Sekarang hari Senin, aku melihat mereka duduk berhadapan di tempat favorit mereka. Namun tak seperti biasa mereka hanya diam saling membisu, padahal biasanya saling tertawa dan entah bercerita apa. Kali ini tampaknya ada yang berbeda pada mereka. Tiba-tiba wanita cantik itu melepaskan cincin berlian yang ada di jari manisnya. Lalu dengan perlahan menyodorkannya pada pria di depannya.

Aku tidak tau apa yang dibicarakan wanita itu pada pria di depannya. Saat aku mengantar pesanan kopi di meja sebelahnya aku sempat mendengarnya dengan samar-samar.
“Maafkan aku” kata wanita itu sambil meneteskan air mata.

Tak lama kemudian setelah mengatakan kalimat maaf, wanita itu pun pergi meninggalkan pria yang ada di hadapannya sendirian. Pria itu hanya diam dan tetap tenang. Betapa tegarnya seorang pria ditinggal oleh wanita yang sudah biasa mengisi hari-harinya. 

Mungkin wanita itu yang menginginkan perpisahan. Kataku dalam hati. Tapi apa masalahnya sehingga wanita itu tega meninggalkan kekasihnya? Seharusnya dia bersyukur memiliki pria yag begitu sempurna. Apa mungkin ada pria lain di hatinya? 

Bagiku kejadian ini sangat dramatis seperti adegan yang ada di film-film Korea. Aku jadi ikut terlarut di dalamnya dan semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tidak berani bertanya langsung pada pria itu. Apalagi aku tidak mengenalnya, dia kan hanya seorang pelanggan yang memesan beberapa minuman kopi di kedai ini. Bukan seorang pasien yang mungkin butuh konsultasi dengan dokter pribadinya. Jadi aku tidak perlu memperhatikannya atau mencampuri urusan pribadinya.

Akhirnya pria itu pergi juga, dan aku segera membersihkan meja. Dua cangkir kopi habis. Padahal aku tidak melihat wanita cantik tadi meminum kopinya, mungkin pria itu yang menghabiskan karena tidak tega jika kopinya mubadzir. Sungguh aku tidak menyangka pria itu meninggalkan cincin berlian ini. Mungkin dia lupa. Dan suatu saat pasti akan mencarinya, jadi sebaiknya kusimpan dulu.
---
Pada hari Jum’at aku memastikan bahwa pasangan itu akan kembali lagi dan duduk berhadapan di meja favorit mereka. Tapi sampai sore begini tak satu pun dari mereka yang datang. Apa mungkin mereka sudah benar-benar berpisah? Menyedihkan sekali. 

Kedai akan tutup satu jam lagi. Ternyata masih ada pelanggan yang masuk dan langsung stay di meja paling sudut dekat jendela kaca. 

Aku mencoba mendekatinya secara perlahan dengan membawakan secangkir kopi untuknya.
“Ada lagi yang mau dipesan, Tuan?” kataku basa-basi.
“Tidak, terimakasih” jawabnya singkat.
“Maaf, Tuan. Apa barang ini milik Anda?”

Dia hanya diam sambil memandang cincin indah yang ku tunjukkan padanya. Aku mengerti mungkin dia tidak ingin menceritakan kisahnya pada orang lain. Aku pun meninggalkannya sendiri dan kembali ke perkerjaanku. 

Satu jam pun telah berlalu. Dan pria itu masih duduk di kursi sebelumnya. Ketenangan pria itu tidak ada yang berani mengingatkan kalau kedai sudah mau tutup. Salah seorang teman menyuruhku untuk mengingatkannya, mereka menyuruhku karena aku yang biasanya melayanan pelanggan yang satu ini.

Aku pun mencoba mendekatinya lagi, sedangkan teman-teman yang lain hanya mengawasiku dari kejauhan. Secara perlahan aku mengingatkan pada pria itu bahwa kedai mau tutup. Pria itu hanya bilang “Ya, tentu saja”. Tapi dia tidak segera beranjak pergi, malah meminta tolong padaku.

Dia memberikan selembar kertas yang ada tulisannya. Tapi aku tidak membaca isi tulisan itu. Dia memintaku untuk memberikannya pada wanita yang biasa bersamanya di kedai ini. Aku tak banyak komentar, dan hanya mengiyakan permintaannya. Mungkin dia juga paham denganku karena setiap kali datang pasti aku yang melayaninya, makanya dia mempercayakan padaku. Dan yang tak kusangka dia banyak bercerita kisahnya padaku.

“Mungkin ini terakhir kali aku berkunjung di kedai kopi ini. Dan wanita itu, namanya Karina. Dia akan tetap datang kemari, tapi tidak bersamaku. Melainkan dengan orang yang bisa menemaninya seumur hidup. Sebelum aku pergi, mungkin akan lebih terkenang kalau kamu tau namaku. Aku Tommy” jelasnya panjang lebar tapi mantap. 

Pria itu. Tommy pun segera pergi dari kedai ini. Aku tak mengerti apa maksud dia bercerita seperti itu. Aku hanya perlu mendengarkan dan bersedia membantunya.
(Bersambung...)

Cari Blog Ini