RED FOR LOVING





Wangi bunga lili, krisan, kamboja, dan melati bersatu padu membentuk satu aroma khas yang sangat sedap. Menenangkan dan dapat dijadikan aromaterapi atau pengharum ruangan. Tapi tidak untuk kali ini. Aroma itu mengundang kesedihan yang menyesakkan dada. Di antara kerumunan orang yang berkostum pakaian hitam, tak ada satu pun yang tersenyum. Mereka tampak tertunduk dan berlinang air mata, sambil memandang batu nisan yang sudah ditaburi bunga.
 
Disaat orang-orang mulai meninggalkan pemakaman, Oquin dan dua orang teman lainnya baru datang. Mereka teman sekelas dan sahabat yang selalu mengisi hari-harinya. Oquin yang paling dekat. Kesedihan yang terpasang di wajahnya tidak bisa disembunyikan. Sedu sedan pun turut menambah duka mendalam ketika melihat sahabatnya telah pergi.

Oquin bersimpuh di depan batu nisan itu. Dalam hatinya dipenuhi rasa menyesal. Baru kemarin lusa ia mengejek Dion.

***


Ujian sekolah telah usai. Dan satu bulan kemudian hasil pengumuman ujian telah keluar. Semua siswa bersorak ceria merayakan keberhasilannya. Tradisi coret-coret seragam OSIS terjadi di beberapa sudut halaman sekolah. Tak ada bedanya dengan seragam yang dikenakan Oquin yang sudah sarat coretan. Berbeda dengan Dion yang hanya berdiri di depan kelas sambil memandang siswa lain. Dari dulu Dion memang berbeda. Tidak banyak tingkah seperti siswa laki-laki lain. Cenderung kutu buku tanpa menghilangkan sikap cool-nya.

Oquin tidak tahan melihat Dion hanya diam di ujung kelas. Ia pun mengajak teman-temannya untuk menghampiri Dion sambil membawa senjata spray paint. Oquin tahu Dion tidak akan bisa menghindar dari serangannya. Apalagi dengan cara keroyokan. Alhasil, seragam Dion yang masih polos menjadi lebih meriah karena cat warna merah, biru, dan hijau. 

“Udahlah, Dion. Nggak usah sok suci gitu kali. Coretan-coretan itu adalah bukti kalo kita udah sah lulus SMA,” kata Rama.

“Oke, deh. Demi kalian gue rela kehilangan kharisma sama kerapian gue.” Akhirnya Dion mengubah sikap sok jaimnya. Ia berganti mencoret-coret seragam sahabatnya.

Ketika Dion sedang membubuhkan tanda tangan di lengan seragam Oquin, diam-diam Oquin memandang sahabatnya lumayan lama. Dan sangat dekat. Tapi Oquin merasa Dion sebentar lagi akan pergi jauh. Sangat jauh. Padahal sebenarnya Oquinlah yang sebentar lagi akan pergi karena harus melanjutkan ke perguruan tinggi di Bandung. Oquin langsung berpaling sebelum Dion melihatnya.

Pesta coret-coret seragam masih belum cukup untuk mengekspresikan kemenangan para siswa. Oquin dan teman-temannya berencana untuk mengadakan pesta perpisahan. Sayangnya dari kelas satu sampai lulus sekarang, Dion tidak pernah sekali pun datang ke pesta mana pun. Makanya kali ini Oquin harus ekstra membujuk Dion agar datang ke pesta.

“Malam minggu lo datang ke pesta perpisahan kelas kita, kan?”

“Gue nggak janji.”

Oquin sudah menebak jawaban itu yang akan muncul. Tapi masih mending tidak ditambah dengan alasan belajar atau mengerjakan tugas. Selalu dengan jawaban yang sama.

“Lo nggak ingin merayakan kebersamaan terakhir kita?”

Dion masih diam. Wajahnya tampak bingung antara bersikukuh pada kebiasannya menolak tawaran pesta atau harus berubah demi sahabatnya. Tapi kali ini yang ia pikirkan adalah kondisi tubuhnya yang tidak terlalu sehat. Ia sempat masuk rumah sakit setelah ujian sekolah usai. Ada sedikit masalah dengan jantungnya. Dan tak ada satu pun sahabatnya yang tahu.

Oquin mencoba membujuk sekali lagi, “Acara wisuda sangat formal. Lo cuma duduk di sana. Kalo pesta kan bisa bebas berekspresi dan mengungkapkan kesan-kesan selama kita bersama di sekolah.”

Setelah mempertimbangkan semua bujuk rayu para sahabatnya, akhirnya Dion memutuskan untuk datang ke pesta perpisahan. Tapi bukan tanpa syarat. Dion meminta Oquin untuk membantu mengantar buket bunga kepada pelanggannya. Oquin tidak terlalu keberatan dengan persyaratan itu. Sebenarnya Oquin sudah sering menemani Dion merangkai dan mengantar buket.

Keesokan harinya Dion dan Oquin sudah siap dengan sepeda masing-masing dengan beberapa buket yang diletakkan di keranjang depan sepeda. Setiap berhasil mengantar buket kepada pelanggan, Dion selalu bercerita tentang filosofi warna bunga. Buket pertama yang diantar berupa bunga lili putih yang melambangkan persahabatan. Buket kedua terkemas rapi bunga aster cina dan daisy orange yang berarti kesetiaan dan kehangatan. Hingga buket terakhir diantar pada seorang pria dewasa.

Dalam perjalanan pulang Dion menceritakan tentang kiriman buket terakhir. Seorang pria dewasa yang sangat mendambakan kekasihnya untuk hidup bersama. Di matanya, kekasihnya adalah wanita paling indah dan sempurna untuk melengkapi hidupnya. Makanya pria itu memberi buket mawar merah yang berjumlah sepuluh tangkai untuk mengatakan “You’re perfect” pada kekasihnya malam nanti.

Oquin sangat senang menyimak penjelasan Dion. Jarang sekali Dion banyak bicara seperti tadi. Biasanya ia hanya menjelaskan tentang pelajaran dan tugas sekolah. Kali ini Dion berbeda. Oquin yang tenggelam dalam mendengarkan, tidak sadar sepeda yang sedang dikayuhnya melewati jalan berlubang. Tak bisa mengelak, Oquin terjatuh. Dion langsung berhenti dan sibuk mengangkat sepeda yang menindih tubuh Oquin. Dion terlebih dahulu mengecek kondisi sepeda, setelah itu baru membantu Oquin berdiri.

Dalam hati Oquin sangat kecewa dengan perlakuan Dion yang biasa saja. Impiannya tentang Dion yang akan bersikap romantis seperti pria pemesan buket tadi hilang sudah.

Malam pukul  07.00. Para siswa mulai berdatangan ke pesta yang diadakan di halaman belakang rumah  Sania. Kerlap-kerlip lampu bohlam kecil menandakan adanya pesta. Minuman sirup dan jajanan kecil sudah tertata di meja. Oquin berdiri di sebelah meja tempat minuman. Ketika tangannya sedang menarik segelas minuman, saat itu pula Dion datang. Kemeja biru dongker yang dikenakan terlihat sangat serasi. Dion terlihat lebih dewasa. Tapi wajahnya terlihat pucat. Mungkin efek gugup karena tidak pernah datang ke pesta.

Dion mendekat ke arah Oquin dan langsung bertanya, “Bagaimana kakinya?”

“Nggak parah kok. Gue udah bisa jalan normal,” jawab Oquin sambil menunjukkan kaki kanannya yang ditempel plester. “Btw, lo kelihatan keren malam ini, nggak kaya kutu buku lagi.”

Hanya itu percakapan awal antara Dion dan Oquin. Pesta berjalan sangat menyenangkan. Semua bebas tertawa, mengobrol apa pun yang mereka suka, dan petikan gitar yang dimainkan beberapa anak tiada henti mengiri pesta. Beberapa anak mulai mengeluarkan kesan-kesan selama SMA, hingga tiba pada giliran Sania dengan iringan petikan gitar oleh Rama.

“ … Semuanya sangat indah. Dan khusus untuk sahabatku Si Kutu Buku, Dion, terima kasih sudah mau belajar bareng kita.” Sania memandang Dion sambil bertepuk tangan. Anak-anak lain pun mengikutinya. Tak ketinggalan juga Oquin sambil melihat Dion yang hanya tersenyum tipis seperti biasa. Tidak banyak tingkah.
Setelah selesai menyanyikan lagu ‘Tentang Kita’, Sania meminta anak lain untuk bergantian mengekspresikan perasaannya. Oquin pun mengangkat tangan begitu cepat. Padahal sebenarnya ia tidak mempunyai banyak gagasan, tangannya terangkat secara spontan.

Oquin brusaha mengatasi kegugupannya. Ia berhasil membuat kesan-kesan selama SMA kepada teman-teman sekelas. “Gue nggak akan melupakan kalian.” Kali ini mata Oquin bergantian menuju ke arah Dion.

“Untuk Dion…” Oquin berpikir sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Ia melihat Dion serius memandang dirinya. “Lo sahabat yang menyenangkan. Meskipun lo kutu buku dan terlihat dingin,  gue yakin sebenarnya hati lo hangat. Tapi lo emang dingin juga. Lo nganterin bunga ke orang-orang yang hidupnya romantis. Sayangnya lo sendiri bukan pengantar bunga yang romantis…”

Oquin berhenti berkata ketika sadar bahwa wajah Dion semakin pucat. Ia pasti sudah berbicara secara keterlaluan hingga membuat Dion tidak nyaman. Akhirnya Oquin langsung duduk. Sania sadar benar apa yang terjadi. Sania berusaha menghidupkan kembali suasana agar tidak menarik perhatian anak-anak. 

Sekarang hati Oquin merasa bersalah sekaligus ganjal. Tidak seharusnya Oquin mengatakan hal itu di depan semua anak. Apalagi Dion tiba-tiba menghilang di tengah pesta. Pasti ada yang salah. Apa Dion marah?

Usai pesta tadi malam, Oquin masih penasaran dengan reaksi Dion terhadap perkataannya. Hari ini ia akan menemui Dion langsung setelah fitting kebaya untuk wisuda besok lusa. Oquin beberapa kali menelepon Dion, tapi tidak diangkat. Mencoba ke toko bunga tempat Dion kerja juga tidak ada. Rumahnya pun terlihat sepi. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan menunggu, masih tidak ada yang membukakan pintu.

Pagi-pagi sekali Oquin kembali menghubungi Dion. Masih sama, tidak diangkat. Kali ini diamnya Dion membuat Oquin penasaran. Perasaan ganjil mendadak muncul di benak Oquin. Ia melamun di depan rumah, bimbang harus mencari Dion ke mana. Hingga tanpa sadar Rama dan Sania  sudah ada di depan rumah. Mereka datang dengan wajah tanpa senyuman, tanpa kehebohan seperti biasanya. Ada yang aneh.

Tiba-tiba Sania memeluk Oquin sangat erat. Oquin pun bingung melihat tingkah sahabatnya yang wajahnya sama-sama terlihat kecut. Setelah menjelaskan semuanya, sekarang gantian Oquin yang menangis.

“Nggak mungkin, Sania. Dion masih marah sama gue. Dia pasti lagi di rumah. Gue harus ke sana buat minta maaf sama dia,” kata Oquin dalam tangisnya yang sudah pecah.

Sania berusaha menenangkan Oquin, “Dion udah nggak ada, Quin.”

“Kita harus ke makam sekarang,” kata Rama lirih.

Langit mendung pun turut berduka di atas nisan yang ditaburi bunga. Kesedihan bertebar di hati para sahabat terkasih. Oquin baru tahu kalau malam itu Dion sedang sakit sehingga wajahnya terlihat pucat. Dan pagi tadi malaikat kegelapan menjemput sahabatnya untuk pergi ke kehidupan yang lebih abadi.

Acara wisuda harusnya membuat hati Oquin kembali merasa menang. Tapi tidak setelah sahabatnya mengosongkan bangku yang seharusnya diduduki sekarang. Ucapan bela sungkawa yang dituturkan dalam sambutan kepala sekolah dan perwakilan siswa pun membuat Oquin semakin sedih. Tangisnya pecah lagi. Dan tangisnya masih tersisa hingga acara wisuda usai.

Lagi-lagi Rama dan Sania harus menenangkan hati Oquin yang masih terguncang. Tiba-tiba seorang laki-laki bertopi menghampiri mereka. Laki-laki itu terlihat familiar bagi Oquin. Ya laki-laki itu bekerja di toko bunga tempat Dion kerja.

Laki-laki itu mengulurkan buket mawar merah pada Oquin. Dengan ragu Oquin pun menerima buket itu.

“Buket ini dari Dion. Tadi malam dia berpesan untuk mengantar buket ke acara wisuda temannya yang bernama Oquin. Kebetulan kamu tidak terlalu asing bagi saya,” jelas laki-laki itu. “Saya turut berduka atas kepergiannya.”

Oquin begitu terharu dengan kiriman buket itu. Mawar merah lambang mencinta. Melalui jumlah bunga sebanyak sepuluh tangkai, Dion mengatakan “You are perfect” pada Oquin. Dion menganggap Oquin lebih dari sahabat, tapi tidak tahu cara menyampaikannya. Dion begitu mengagumi Oquin, tapi tidak tahu cara memujinya. Tapi sekarang terungkap sudah rahasia hati kecil Dion. Ia mengagumi Oquin.

-End-

(Songlit#3) Kisah Julia dan Romi: AKU AKAN PULANG



Acara wisuda telah usai satu dua bulan yang lalu. Itu adalah terakhir kali kita bersenang-senang bersama di lingkungan kampus. Itu adalah terakhir kali kamu memberi hadiah bunga untukku.

Setelah itu aku sering menghilang darimu. Aku sibuk mengurus lamaran kerjaku di Singapore. Beberapa berkas sempat membuatku gugup karena sebelumnya aku tidak pernah melamar pekerjaan di mana pun. Dan siang itu setelah aku mengambil legalisasi ijazah, loby kampus telah menunjukkan betapa aku sangat egois. Ya. Aku sendiri yang memilih pergi darimu. Aku yang mengatakan sesuatu yang membuat kita benar-benar berpisah.

“Aku akan tetap pergi. Terserah kamu hubungan kita mau seperti apa.”

Kata-kata itu muncul setelah aku dan kamu berdebat mempertahankan alasan masing-masing terhadapn pilihan pekerjaan. Sekaligus bernegosiasi cukup panjang harus membawa hubungan ke arah mana.

Tapi langit lembayung sore ini membuatku tersadar sebenarnya aku tidak menginginkan perpisahan ini terjadi. Dan memang bukan ini yang aku maksud. Jika kamu mau sedikit memikirkan perkataanku, sebenarnya aku memberimu dua pilihan. Tapi aku tidak menyangka kamu menanggapi itu secara serius. Mungkin aku yang terlalu kasar dan kaku. Tidak semanis biasanya.

Pada akhirnya aku tidak bisa menerima ini semua. Makanya sekarang aku yang giliran mencarimu terus-menerus.

Romi. Aku ingat kamu tidak terlalu menyukai keramaian. Kamu tidak datang ke acara konser pada malam minggu. Kamu pun mengajakku keluar dari hiruk pikuk kota. Makanya aku datang ke sini. Tempat yang hanya ada suara alam, deburan ombak yang menyentuh pasir putih, kicauan burung yang terbang di langit jingga, dan tiupan angin yang lembut, serta suara kita berdua yang kadang menodai kesunyian.





He said let’s get out of this town
Drive out of the city
Away from the crowds
I thought heaven can’t help me now
Nothing lasts forever

Itu dulu. Sekarang semua telah berbeda, karena memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi secara lahir kamu masih tetap menjadi favoritku. Kamu cukup tinggi, dan wajahmu tampan. Sayang bukan hanya aku yang mengagumi itu. Aku melihat fotomu di media sosial bersama seorang wanita. Kalian duduk berhadapan dan saling menatap sangat dalam. Apakah ada simbol cinta di antara pandangan itu, Romi?

Aku sungguh iri pada wanita itu, Romi. Dia mampu menerimamu dengan baik, dan sangat mencintai udara lokal. Tidak seperti aku yang sarat akan ambisi untuk bekerja di kota megapolitan yang ramai itu.

Aku sungguh iri lagi pada wanita itu. Orang lain banyak yang bilang kalau kalian cocok. Dan ada beberapa yang secara tulus berdo’a untuk kelanggengan kalian. Padahal dulu aku tidak pernah mendapatkan itu semua.

But this is gonna take me down
He’s so tall, and handsome as hell
He’s so bad but he does it so well
I can see the end as it begins my one condition is

Kamu curang. Kalau kamu mau berpikir, kamu belum mengakhiri hubungan ini secara sah. Aku dan kamu berpisah karena keadaan yang mengharuskan, bukan karena kemauan sanubari. Bahkan tidak pernah ada deklarasi perpisahan di antara kita.

Jika memang ini caramu membuat kejelasan, maka aku tak punya hak untuk komplain. Dan tak mungkin juga aku berdebat di depanmu untuk mengungkit kembali hubungan yang sebenarnya sudah lama terkubur. Sekarang yang ada hanya aku dan penyesalanku.


Romi, aku mencoba menerima ini semua. Aku akan merelakanmu memilih caramu, seperti saat kamu mencoba merelakanku memilih caraku. Sekarang kita dalam skor 0-0.

Say you’ll remember me
Standing in a nice dress, staring at the sun set babe
Red lips and rosy cheeks
Say you’ll see me again even if it’s just in your wildest dreams
Wildest dreams
 
Romi, aku nyatakan sekarang kita benar-benar berpisah. Tapi dengan satu syarat. Kamu akan selalu mengingatku sebagai gadis manis yang berlari dengan kaki telanjang di antara buih air laut, dan angin sore sedikit mengayunkan gaun indahnya. Atau sebagai gadis yang selalu tersipu lalu pipinya mulai merona, sementara bibirnya yang dilapisi lipstik merah terus mengembang.

“Tolong munculkan gadis itu dalam mimpimu.”

Bukan sebagai aku yang pernah membuatmu menyesal.

Well. Romi, biarkan pantai ini menjadi saksi bahwa aku akan pulang pada aku yang dulu. Aku yang sebelumnya tidak mengenalmu.

“Memang sudah saatnya aku pulang ke Jakarta.” Lalu terbang melintas negara untuk kembali ke kantor.



---End---

Songlit dari lagu Taylor Swift – Wildest Dream.

Cari Blog Ini