Disaat
orang-orang mulai meninggalkan pemakaman, Oquin dan dua orang teman lainnya
baru datang. Mereka teman sekelas dan sahabat yang selalu mengisi hari-harinya.
Oquin yang paling dekat. Kesedihan yang terpasang di wajahnya tidak bisa
disembunyikan. Sedu sedan pun turut menambah duka mendalam ketika melihat
sahabatnya telah pergi.
Oquin
bersimpuh di depan batu nisan itu. Dalam hatinya dipenuhi rasa menyesal. Baru
kemarin lusa ia mengejek Dion.
***
Ujian
sekolah telah usai. Dan satu bulan kemudian hasil pengumuman ujian telah
keluar. Semua siswa bersorak ceria merayakan keberhasilannya. Tradisi
coret-coret seragam OSIS terjadi di beberapa sudut halaman sekolah. Tak ada
bedanya dengan seragam yang dikenakan Oquin yang sudah sarat coretan. Berbeda
dengan Dion yang hanya berdiri di depan kelas sambil memandang siswa lain. Dari
dulu Dion memang berbeda. Tidak banyak tingkah seperti siswa laki-laki lain. Cenderung
kutu buku tanpa menghilangkan sikap cool-nya.
Oquin
tidak tahan melihat Dion hanya diam di ujung kelas. Ia pun mengajak teman-temannya
untuk menghampiri Dion sambil membawa senjata spray paint. Oquin tahu Dion tidak akan bisa menghindar dari
serangannya. Apalagi dengan cara keroyokan. Alhasil, seragam Dion yang masih
polos menjadi lebih meriah karena cat warna merah, biru, dan hijau.
“Udahlah,
Dion. Nggak usah sok suci gitu kali. Coretan-coretan itu adalah bukti kalo kita
udah sah lulus SMA,” kata Rama.
“Oke,
deh. Demi kalian gue rela kehilangan kharisma sama kerapian gue.” Akhirnya Dion
mengubah sikap sok jaimnya. Ia berganti mencoret-coret seragam sahabatnya.
Ketika
Dion sedang membubuhkan tanda tangan di lengan seragam Oquin, diam-diam Oquin
memandang sahabatnya lumayan lama. Dan sangat dekat. Tapi Oquin merasa Dion
sebentar lagi akan pergi jauh. Sangat jauh. Padahal sebenarnya Oquinlah yang
sebentar lagi akan pergi karena harus melanjutkan ke perguruan tinggi di
Bandung. Oquin langsung berpaling sebelum Dion melihatnya.
Pesta
coret-coret seragam masih belum cukup untuk mengekspresikan kemenangan para
siswa. Oquin dan teman-temannya berencana untuk mengadakan pesta perpisahan.
Sayangnya dari kelas satu sampai lulus sekarang, Dion tidak pernah sekali pun
datang ke pesta mana pun. Makanya kali ini Oquin harus ekstra membujuk Dion agar
datang ke pesta.
“Malam
minggu lo datang ke pesta perpisahan kelas kita, kan?”
“Gue
nggak janji.”
Oquin
sudah menebak jawaban itu yang akan muncul. Tapi masih mending tidak ditambah
dengan alasan belajar atau mengerjakan tugas. Selalu dengan jawaban yang sama.
“Lo
nggak ingin merayakan kebersamaan terakhir kita?”
Dion
masih diam. Wajahnya tampak bingung antara bersikukuh pada kebiasannya menolak
tawaran pesta atau harus berubah demi sahabatnya. Tapi kali ini yang ia
pikirkan adalah kondisi tubuhnya yang tidak terlalu sehat. Ia sempat masuk
rumah sakit setelah ujian sekolah usai. Ada sedikit masalah dengan jantungnya.
Dan tak ada satu pun sahabatnya yang tahu.
Oquin
mencoba membujuk sekali lagi, “Acara wisuda sangat formal. Lo cuma duduk di
sana. Kalo pesta kan bisa bebas berekspresi dan mengungkapkan kesan-kesan
selama kita bersama di sekolah.”
Setelah
mempertimbangkan semua bujuk rayu para sahabatnya, akhirnya Dion memutuskan
untuk datang ke pesta perpisahan. Tapi bukan tanpa syarat. Dion meminta Oquin
untuk membantu mengantar buket bunga kepada pelanggannya. Oquin tidak terlalu
keberatan dengan persyaratan itu. Sebenarnya Oquin sudah sering menemani Dion
merangkai dan mengantar buket.
Keesokan
harinya Dion dan Oquin sudah siap dengan sepeda masing-masing dengan beberapa
buket yang diletakkan di keranjang depan sepeda. Setiap berhasil mengantar
buket kepada pelanggan, Dion selalu bercerita tentang filosofi warna bunga. Buket
pertama yang diantar berupa bunga lili putih yang melambangkan persahabatan.
Buket kedua terkemas rapi bunga aster cina dan daisy orange yang berarti
kesetiaan dan kehangatan. Hingga buket terakhir diantar pada seorang pria dewasa.
Dalam
perjalanan pulang Dion menceritakan tentang kiriman buket terakhir. Seorang
pria dewasa yang sangat mendambakan kekasihnya untuk hidup bersama. Di matanya,
kekasihnya adalah wanita paling indah dan sempurna untuk melengkapi hidupnya.
Makanya pria itu memberi buket mawar merah yang berjumlah sepuluh tangkai untuk
mengatakan “You’re perfect” pada
kekasihnya malam nanti.
Oquin
sangat senang menyimak penjelasan Dion. Jarang sekali Dion banyak bicara
seperti tadi. Biasanya ia hanya menjelaskan tentang pelajaran dan tugas
sekolah. Kali ini Dion berbeda. Oquin yang tenggelam dalam mendengarkan, tidak
sadar sepeda yang sedang dikayuhnya melewati jalan berlubang. Tak bisa mengelak,
Oquin terjatuh. Dion langsung berhenti dan sibuk mengangkat sepeda yang
menindih tubuh Oquin. Dion terlebih dahulu mengecek kondisi sepeda, setelah itu
baru membantu Oquin berdiri.
Dalam
hati Oquin sangat kecewa dengan perlakuan Dion yang biasa saja. Impiannya
tentang Dion yang akan bersikap romantis seperti pria pemesan buket tadi hilang
sudah.
Malam
pukul 07.00. Para siswa mulai
berdatangan ke pesta yang diadakan di halaman belakang rumah Sania. Kerlap-kerlip lampu bohlam kecil
menandakan adanya pesta. Minuman sirup dan jajanan kecil sudah tertata di meja.
Oquin berdiri di sebelah meja tempat minuman. Ketika tangannya sedang menarik
segelas minuman, saat itu pula Dion datang. Kemeja biru dongker yang dikenakan terlihat
sangat serasi. Dion terlihat lebih dewasa. Tapi wajahnya terlihat pucat.
Mungkin efek gugup karena tidak pernah datang ke pesta.
Dion
mendekat ke arah Oquin dan langsung bertanya, “Bagaimana kakinya?”
“Nggak
parah kok. Gue udah bisa jalan normal,” jawab Oquin sambil menunjukkan kaki
kanannya yang ditempel plester. “Btw, lo kelihatan keren malam ini, nggak kaya
kutu buku lagi.”
Hanya
itu percakapan awal antara Dion dan Oquin. Pesta berjalan sangat menyenangkan.
Semua bebas tertawa, mengobrol apa pun yang mereka suka, dan petikan gitar yang
dimainkan beberapa anak tiada henti mengiri pesta. Beberapa anak mulai
mengeluarkan kesan-kesan selama SMA, hingga tiba pada giliran Sania dengan
iringan petikan gitar oleh Rama.
“
… Semuanya sangat indah. Dan khusus untuk sahabatku Si Kutu Buku, Dion, terima
kasih sudah mau belajar bareng kita.” Sania memandang Dion sambil bertepuk
tangan. Anak-anak lain pun mengikutinya. Tak ketinggalan juga Oquin sambil melihat
Dion yang hanya tersenyum tipis seperti biasa. Tidak banyak tingkah.
Setelah
selesai menyanyikan lagu ‘Tentang Kita’, Sania meminta anak lain untuk
bergantian mengekspresikan perasaannya. Oquin pun mengangkat tangan begitu
cepat. Padahal sebenarnya ia tidak mempunyai banyak gagasan, tangannya
terangkat secara spontan.
Oquin
brusaha mengatasi kegugupannya. Ia berhasil membuat kesan-kesan selama SMA
kepada teman-teman sekelas. “Gue nggak akan melupakan kalian.” Kali ini mata
Oquin bergantian menuju ke arah Dion.
“Untuk
Dion…” Oquin berpikir sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Ia melihat Dion
serius memandang dirinya. “Lo sahabat yang menyenangkan. Meskipun lo kutu buku
dan terlihat dingin, gue yakin
sebenarnya hati lo hangat. Tapi lo emang dingin juga. Lo nganterin bunga ke
orang-orang yang hidupnya romantis. Sayangnya lo sendiri bukan pengantar bunga
yang romantis…”
Oquin
berhenti berkata ketika sadar bahwa wajah Dion semakin pucat. Ia pasti sudah
berbicara secara keterlaluan hingga membuat Dion tidak nyaman. Akhirnya Oquin
langsung duduk. Sania sadar benar apa yang terjadi. Sania berusaha menghidupkan
kembali suasana agar tidak menarik perhatian anak-anak.
Sekarang
hati Oquin merasa bersalah sekaligus ganjal. Tidak seharusnya Oquin mengatakan
hal itu di depan semua anak. Apalagi Dion tiba-tiba menghilang di tengah pesta.
Pasti ada yang salah. Apa Dion marah?
Usai
pesta tadi malam, Oquin masih penasaran dengan reaksi Dion terhadap
perkataannya. Hari ini ia akan menemui Dion langsung setelah fitting kebaya untuk wisuda besok lusa.
Oquin beberapa kali menelepon Dion, tapi tidak diangkat. Mencoba ke toko bunga
tempat Dion kerja juga tidak ada. Rumahnya pun terlihat sepi. Setelah beberapa
kali mengetuk pintu dan menunggu, masih tidak ada yang membukakan pintu.
Pagi-pagi
sekali Oquin kembali menghubungi Dion. Masih sama, tidak diangkat. Kali ini
diamnya Dion membuat Oquin penasaran. Perasaan ganjil mendadak muncul di benak
Oquin. Ia melamun di depan rumah, bimbang harus mencari Dion ke mana. Hingga
tanpa sadar Rama dan Sania sudah ada di
depan rumah. Mereka datang dengan wajah tanpa senyuman, tanpa kehebohan seperti
biasanya. Ada yang aneh.
Tiba-tiba
Sania memeluk Oquin sangat erat. Oquin pun bingung melihat tingkah sahabatnya
yang wajahnya sama-sama terlihat kecut. Setelah menjelaskan semuanya, sekarang
gantian Oquin yang menangis.
“Nggak
mungkin, Sania. Dion masih marah sama gue. Dia pasti lagi di rumah. Gue harus
ke sana buat minta maaf sama dia,” kata Oquin dalam tangisnya yang sudah pecah.
Sania
berusaha menenangkan Oquin, “Dion udah nggak ada, Quin.”
“Kita
harus ke makam sekarang,” kata Rama lirih.
Langit
mendung pun turut berduka di atas nisan yang ditaburi bunga. Kesedihan bertebar
di hati para sahabat terkasih. Oquin baru tahu kalau malam itu Dion sedang
sakit sehingga wajahnya terlihat pucat. Dan pagi tadi malaikat kegelapan
menjemput sahabatnya untuk pergi ke kehidupan yang lebih abadi.
Acara
wisuda harusnya membuat hati Oquin kembali merasa menang. Tapi tidak setelah
sahabatnya mengosongkan bangku yang seharusnya diduduki sekarang. Ucapan bela
sungkawa yang dituturkan dalam sambutan kepala sekolah dan perwakilan siswa pun
membuat Oquin semakin sedih. Tangisnya pecah lagi. Dan tangisnya masih tersisa
hingga acara wisuda usai.
Lagi-lagi
Rama dan Sania harus menenangkan hati Oquin yang masih terguncang. Tiba-tiba
seorang laki-laki bertopi menghampiri mereka. Laki-laki itu terlihat familiar
bagi Oquin. Ya laki-laki itu bekerja di toko bunga tempat Dion kerja.
Laki-laki
itu mengulurkan buket mawar merah pada Oquin. Dengan ragu Oquin pun menerima
buket itu.
“Buket
ini dari Dion. Tadi malam dia berpesan untuk mengantar buket ke acara wisuda
temannya yang bernama Oquin. Kebetulan kamu tidak terlalu asing bagi saya,”
jelas laki-laki itu. “Saya turut berduka atas kepergiannya.”
Oquin
begitu terharu dengan kiriman buket itu. Mawar merah lambang mencinta. Melalui
jumlah bunga sebanyak sepuluh tangkai, Dion mengatakan “You are perfect” pada Oquin.
Dion menganggap Oquin lebih dari sahabat, tapi tidak tahu cara menyampaikannya.
Dion begitu mengagumi Oquin, tapi tidak tahu cara memujinya. Tapi sekarang
terungkap sudah rahasia hati kecil Dion. Ia mengagumi Oquin.
-End-