Aku
masih di sini. Kembali pada kehidupanku sebelum mengenalmu. Aku mulai
membiasakan diri hidup tanpamu. Bahkan hidupku sudah kembali normal setelah
insiden sakit hati tiga tahun lalu.
Awalnya
aku memang tak berdaya ketika kamu mengucapkan kalimat yang menyakitkan. Saat
itu aku baru sadar kita memiliki banyak perbedaan. Kita punya mimpi yang
berbeda. Kamu begitu metropolis, ingin bekerja di kota besar, bahkan ke luar
negeri, dan memimpikan kantor modern yang berada di lantai sebuah gedung pencakar
langit. Sementara aku tak ingin satu meter pun beranjak dari kotaku. Karena aku
anak laki-laki tunggal yang kelak akan menjadi tumpuan keluargaku. Apalagi
prospek kerjaku dalam bidang agribisnis memang sudah tersedia di sini. Tapi
kamu malah meragukan keberhasilanku nanti.
Julia,
kamu tidak bisa memaksakan idealismemu terhadapku. Begitu juga aku. Jadi keputusanmu
saat itu sangatlah tepat. Aku pun hanya bisa berdo’a pada Yang Maha, bahwa itu
memang terbaik untuk kita.
Tuhan aku berjalan nyusuri malam
Setelah patah hati ku
Aku berdoa semoga saja
Ini terbaik untuknya
Dia bilang
Kau harus bisa seperti aku
Yang sudah biarlah sudah
Setelah patah hati ku
Aku berdoa semoga saja
Ini terbaik untuknya
Dia bilang
Kau harus bisa seperti aku
Yang sudah biarlah sudah
Aku
dan kamu memang harus berjalan di jalur yang berbeda. Tanpa perlu kamu harus
mengataiku sebagai peneliti idiot masa depan dengan nada sinis. Di sisi sakit
hatiku, ternyata ucapanmu mampu menjadi senjata untuk terus berjalan ke depan.
Lihat
aku sekarang, aku bukan peneliti idiot yang norak. Aku mempunyai akses
teknologi yang baik untuk menghasilkan produk agribisnis berkualitas, yang
berguna untuk masyarakat di kotaku.
Julia,
ternyata ibuku. Begitu mengagumi penampilanmu yang terlihat elegan dan modern.
Meskipun aku pernah mengenalkan wanitaku pada ibu, tapi hingga tadi pagi ia
masih saja memuji kecantikan luarmu. Harusnya dari dulu kita mencari restu ibu,
bukan hanya mencari kesenangan berdua.
Aku
terheran kamu masih tidak putus asa mengubungi dan menanyakan kabarku. Dalam
pesanmu, kamu terus mengatakan penyesalan dan permintamaafanmu. Saat aku
mengangkat teleponmu, mulutku hanya diam. Tapi hatiku berkata.
“Sudahlah,
Julia. Kau tak berhak menanyakan keadaanku sekarang. Mudah saja untukmu meminta
maaf, tapi tidak mudah bagiku untuk memaafkan begitu saja.”
Mudah
saja bagimu
Mudah saja untuk mu
Coba saja lukamu seperti luka ku
Coba saja lukamu seperti luka ku
Tapi sudahlah, Julia. Semua
sudah berlalu dan berhasil aku lewati. Sekarang aku ini baik-baik saja. Kamu
tidak perlu meragukan itu. Oh tidak, ternyata kamu masih bertanya di ujung
telepon.
“Aku
mendengarmu, Julia. Nikmatilah hidupmu tanpa harus memikirkanku.”
Selang
waktu berjalan
Kau kembali datang
Tanyakan keadaanku
Ku bilang kau tak berhak tanyakan hidupku
Kau kembali datang
Tanyakan keadaanku
Ku bilang kau tak berhak tanyakan hidupku
Membuatkan ku semakin terluka
Julia,
kamu tidak perlu membuang waktu untuk memikirkanku, dan berkeliling kota
mengunjungi tempat-tempat favorit kita dulu. Tak perlu kamu mengingat semua
kenangan kita. Itu hanya akan membuatmu sakit. Begitupun aku. Makanya aku tidak
pernah lagi mengangkat teleponmu. Kenangan itu hanya angin, Julia. Hanya mampir
sebentar, kemudian pergi lagi.
Julia,
ini aku sekarang. Bahagia bersama wanitaku.
Julia,
aku melihatmu sedang menikmati matahari tenggelam di Pantai Parang Teritis. Kalau
boleh bilang, tak perlulah kamu melakukan itu. Seharusnya kamu pulang ke
Jakarta, bukan Yogyakarta tempat berkubang masa lalu. Itu tidak bagus untuk
jiwamu.
Julia,
pulanglah ke kotamu. Atau kembalilah ke kantomu untuk bekerja. Bukankah itu
pekerjaan yang kau impikan sejak dulu? Maka nikmatilah.
“Julia,
sku di sini sudah memaafkanmu dan segala masa lalu kita.”
Tapi
kumohon, jangan tanyakan kabarku lagi.
---to be continued---
Songlit
dari lagu Sheila on Seven – Mudah Saja ini, untuk membalas songlit #1.
0 komentar:
Posting Komentar