(Songlit #2) Kisah Julia dan Romi: INI AKU SEKARANG



Aku masih di sini. Kembali pada kehidupanku sebelum mengenalmu. Aku mulai membiasakan diri hidup tanpamu. Bahkan hidupku sudah kembali normal setelah insiden sakit hati tiga tahun lalu.

Awalnya aku memang tak berdaya ketika kamu mengucapkan kalimat yang menyakitkan. Saat itu aku baru sadar kita memiliki banyak perbedaan. Kita punya mimpi yang berbeda. Kamu begitu metropolis, ingin bekerja di kota besar, bahkan ke luar negeri, dan memimpikan kantor modern yang berada di lantai sebuah gedung pencakar langit. Sementara aku tak ingin satu meter pun beranjak dari kotaku. Karena aku anak laki-laki tunggal yang kelak akan menjadi tumpuan keluargaku. Apalagi prospek kerjaku dalam bidang agribisnis memang sudah tersedia di sini. Tapi kamu malah meragukan keberhasilanku nanti.

Julia, kamu tidak bisa memaksakan idealismemu terhadapku. Begitu juga aku. Jadi keputusanmu saat itu sangatlah tepat. Aku pun hanya bisa berdo’a pada Yang Maha, bahwa itu memang terbaik untuk kita.

Tuhan aku berjalan nyusuri malam
Setelah patah hati ku
Aku berdoa semoga saja
Ini terbaik untuknya
Dia bilang
Kau harus bisa seperti aku
Yang sudah biarlah sudah

Aku dan kamu memang harus berjalan di jalur yang berbeda. Tanpa perlu kamu harus mengataiku sebagai peneliti idiot masa depan dengan nada sinis. Di sisi sakit hatiku, ternyata ucapanmu mampu menjadi senjata untuk terus berjalan ke depan.

Lihat aku sekarang, aku bukan peneliti idiot yang norak. Aku mempunyai akses teknologi yang baik untuk menghasilkan produk agribisnis berkualitas, yang berguna untuk masyarakat di kotaku.

Julia, ternyata ibuku. Begitu mengagumi penampilanmu yang terlihat elegan dan modern. Meskipun aku pernah mengenalkan wanitaku pada ibu, tapi hingga tadi pagi ia masih saja memuji kecantikan luarmu. Harusnya dari dulu kita mencari restu ibu, bukan hanya mencari kesenangan berdua.

Aku terheran kamu masih tidak putus asa mengubungi dan menanyakan kabarku. Dalam pesanmu, kamu terus mengatakan penyesalan dan permintamaafanmu. Saat aku mengangkat teleponmu, mulutku hanya diam. Tapi hatiku berkata.

“Sudahlah, Julia. Kau tak berhak menanyakan keadaanku sekarang. Mudah saja untukmu meminta maaf, tapi tidak mudah bagiku untuk memaafkan begitu saja.”

Mudah saja bagimu
Mudah saja untuk mu
Coba saja lukamu seperti luka ku

Tapi sudahlah, Julia. Semua sudah berlalu dan berhasil aku lewati. Sekarang aku ini baik-baik saja. Kamu tidak perlu meragukan itu. Oh tidak, ternyata kamu masih bertanya di ujung telepon.

“Aku mendengarmu, Julia. Nikmatilah hidupmu tanpa harus memikirkanku.”

Selang waktu berjalan
Kau kembali datang
Tanyakan keadaanku
Ku bilang kau tak berhak tanyakan hidupku
Membuatkan ku semakin terluka

Julia, kamu tidak perlu membuang waktu untuk memikirkanku, dan berkeliling kota mengunjungi tempat-tempat favorit kita dulu. Tak perlu kamu mengingat semua kenangan kita. Itu hanya akan membuatmu sakit. Begitupun aku. Makanya aku tidak pernah lagi mengangkat teleponmu. Kenangan itu hanya angin, Julia. Hanya mampir sebentar, kemudian pergi lagi.

Julia, ini aku sekarang. Bahagia bersama wanitaku.

Julia, aku melihatmu sedang menikmati matahari tenggelam di Pantai Parang Teritis. Kalau boleh bilang, tak perlulah kamu melakukan itu. Seharusnya kamu pulang ke Jakarta, bukan Yogyakarta tempat berkubang masa lalu. Itu tidak bagus untuk jiwamu.

Julia, pulanglah ke kotamu. Atau kembalilah ke kantomu untuk bekerja. Bukankah itu pekerjaan yang kau impikan sejak dulu? Maka nikmatilah.

“Julia, sku di sini sudah memaafkanmu dan segala masa lalu kita.”

Tapi kumohon, jangan tanyakan kabarku lagi.



---to be continued---

Songlit dari lagu Sheila on Seven – Mudah Saja ini, untuk membalas songlit #1.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini