Aku yakini diriku sudah pulih dari semua sakit hati
itu. Meskipun luka itu masih membekas, tapi itu akan hilang dengan sendirinya.
Aku juga sudah terbiasa dengan kesendiriannku ini tanpa harus ada dia. Ben.
Sekarang aku ini seperti burung-burung yang terbang bebas di atas awan. Tak ada
yang mengatur harus terbang ke arah mana. Aku sangat menikmati semua ini.
Karena aku bebas.
Namun petang ini sempat teringat kenangan-kenang itu
ketika masih bersama Ben. Ya. Tiba-tiba satu minggu yang lalu Ben datang
menghampiriku yang sedang duduk sendiri di kantin kampus. Tanpa kuperintah Ben
duduk di sampingku sambil membawa segelas es teh untuk diminum sendiri. Aku pun menoleh sebentar dan segera kembali
lagi ke acara makan siangku.
“Oh Tuhan.. Usirlah dia dari sampingku.” Gumamku
dalam hati.
Dan ternyata Tuhan tidak segera mengabulkan do’aku
yang mungkin bahasanya terlalu kasar. Ben pun mulai membuka percakapan dengan
menanyakan kabarku. Sebagai mantan yang ramah aku pun menjawab seperlunya sambil
sesekali tersenyum padanya.
“Bulan ini sibuk mengerjakan tugas kuliah. Satu
tugas selesai, datang lagi tugas lain. Jadi terus berdatangan gitu.” Jawabku
ketika Ben menanyakan kegiatan sehari-hariku.
Aku tidak tahu mengapa Ben harus datang lagi dalam
hidupku. Asalkan dia tahu bahwa aku baik-baik saja jika memang harus tanpanya.
Dan setelah pertemuan di kantin itu, hari berikutnya Ben pun mulai akrab
dengaku lagi. Aku dan Ben sering kirim-kiriman pesan. Bahkan Ben sempat
beberapa kali menelponku jika di kampus tidak sempat bertemu.
Kuakui aku memang sangat senang ketika bertemu Ben,
apalagi dia selalu membuatku ceria. Setelah beberapa kali kita sering jalan
bersama Ben pun mulai mempertanyakan hubungan kita. Dengan penuh keyakinan dia
memintaku untuk kembali padanya. Hal membuatku sangat bahagia, tapi sekaligus
bingung harus bagaimana.
Apa mungkin aku
harus melanjutkan kisah yang sempat terputus?
Kataku dalam hati. Biarlah kupikirkan sejenak.
Aku tahu Ben. Aku juga kenal Ben. Dan Ben sempat
menemukan penggantiku. Jika memang Ben bahagia denga orang lain, tidak
seharusnya Ben memintaku kembali padanya. Ada
yang terjadi padanya? Aku tak bermaksud meragukan niatnya untuk kembali,
tapi aku piker memang ini jawaban yang tepat untuknya.
Semua menjadi semakin yakin ketika dia menanyakan
“Bagaimana?”
Dengan penuh kemantapan aku pun mulai menjelaskan
jawabanku. Bahwa, jika cinta itu bukan permainan, maka cinta tidak akan mudah
datang dan pergi. Dan berdasarkan pengelaman yang lalu bahwa cinta itu bukan
hanya untuk mencari kesenangan diri, tapi belajar untuk mengerti, memahami, dan
saling memberi arti.
Saat itu warna langit jingga. Mungkin itu warna
kejujuran hatiku. Tapi entahlah, aku tidak mau memikirkan hati dan perasaan.
Biarlah dia sedikit berpikir rasional, tidak hanya dikendalikan oleh perasaan
dan emosi. Akhirnya aku pulang pada diriku bahwa aku ini memang tidak mau
dipermainkan lagi, karena aku tahu cinta bukan permainan.
-End-
-End-
0 komentar:
Posting Komentar