Tak Mungkin Lagi



Hubungan jarak jauh yang sudah terjalin selama dua tahun pun membuatku yakin bahwa cintaku dan Sam sangat kukuh. Kini aku telah kembali ke kampung halaman dan aku akan berasa di dekat Sam lagi. Bisa bertemu Sam kapan saja asalkan tidak sibuk. Namun kesibukannya dalam bekerja harus membuatku lebih bersabar dan harus menunda pertemuan yang selama ini aku harapkan.

Pertemuan tak sengaja di resepsi pernikahan teman SMA pun membuatku sadar akan ssuatu. Sam telah menggandeng wanita lain. Entah mengapa aku malah tersenyum padanya, padahal dalam hati aku menangis meronta-ronta. Aku tidak tau wanita itu siapa, tapi cincin emas yang melingkar di jari manisnya mampu menjawab rasa penasaranku.

Aku jadi teringat pembicaraan di telepon sekitar tiga bulan yang lalu. Sam sempat mengatakan bahwa dirinya telah membeli barang kecil yang indah.

“Barang ini selalu diinginkan oleh setiap wanita” kata Sam saat itu.
“Apakah barang itu membuat ikatan hubungan seseorang semakin kuat?
“Tentu saja. Ini adalah lambing cinta sejati dan keabadian”
“Barang yang kau maksud pasti cincin”

Tebakanku benar. Dengan penuh harapan cincin itu akan menjadi milikku suatu saat nanti. Sekarang harapan itu telah hancur. Cincinnya sudah ada di jari wanita pilihan Sam. Tepatnya wanita lain, bukan aku.
Ternyata Sam masih saja memandang wajahku yang mulai rapuh ini. Aku pun segera menuju kursi pelaminan untuk memberi ucapan selamat pada pasangan pengantin. Tanpa kusangka Sam ikut mengantri tepat di belakangku.

Aku berusaha tersenyum dan memasang wajah antusias di depan Tiara Si pengantin wanita. Kita saling tersenyum satu sama lain, lalu berpelukan. Aku pun menyembunyikan wajahku yang mulai berlinang air mata di balik pelukan itu.

“Kenapa kamu menangis? Kamu nggak boleh menangis di hari kebahagiaanku” kata Tiara.
“Aku  hanya terharu dengan kebahagiaan yang kamu dapatkan sekarang ini”

Aku tak tau kalimat ini aku tujukan pada Tiara atau Sam yang ada di belakangku. Aku terlalu fokus pada perasaanku yang sedang kacau.

“Suatu hari kamu juga pasti akan mendapatkannya. Kamu akan bahagia ketika di samping Sam, kalian masih bersama kan?” kata Tiara sambil bergantian memandangku dan Sam. 

Bahkan orang lain mengira aku masih bersama Sam, padahal aku menganggap bahwa semua sudah berakhir mulai detik ini. Perlahan aku menoleh ke arah Sam, padahal aku masih berlinang air mata. Dalam tatapan Sam sepertinya aku jauh sekali atau bahkan aku tidak ada di sana.

Dengan sangat terburu-buru aku menjauh dari keramaian. Dalam hati aku ingin cepat sampai rumah dan menumpahkan semua tangisku. Tiba-tiba seseorang menarik tangan kananku. Aku bisa menebak bahwa itu Sam. Aku langsung mengusap air mata yang mengalir di pipiku dan mengedipkan mata beberapa kali untuk menetralkan mataku yang mulai merah. Saat berbalik badan, kudapati Sam memandangiku dengan mata sayunya.

“Adakah yang ingin kau jelaskan? Bukannya kamu sibuk?” tanyaku.
“Selama kamu pergi aku sangat merindukanmu dan berharap kamu pulang secepatnya. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Dan aku membutuhkan seseorang yang selalu ada untukku.”
“Dan kamu sudah mendapatkan orang itu”
“Sungguh, maaf aku melakukan ini padamu. Kamu pergi terlalu jauh dan lama sekali. Aku bertunangan dengannya tiga bulan yang lalu, dan dua bulan kedepan akan menikah” jelasnya penuh hati-hati.

Duniaku terasa berhenti berputar setelah mendengar semua penjelasannya. Aku hanya bisa menyesal telah mempercayai orang yang ternyata tidak bisa memegang janjinya. Bahkan kalimat terakhirnya masih terngiang di telingaku.
“Aku akan setia menunggumu sampai kau kembali.”
Begitulah kalimat terakhirnya di bandara yang membuatku mempercayainya. Namun semua kepercayaanku padanya sia-sia karena telah dirusak. Padahal selama ini aku bertahan demi Sam. Semua untuk Sam. Tapi Sam bukan untuk aku. Sam untuk wanita yang sedang berjalan menuju Sam dan aku.

“Kalian saling mengenal?” tanya wanita itu dengan wajah polosnya.

Aku berani bertaruh bahwa wanita ini tidak tau apa-apa tentang hubunganku dengan Sam.

“Ya, kita teman SMA. Sam memberitahuku bahwa kalian akan menikah dua bulan ke depan” kataku dengan berat hati sambil melirik cincin yang dipakai wanita itu.
“Itu benar. Datanglah ke pernikahan kita” pintanya.
“Jika ada kesempatan aku pasti datang. Semoga kalian bahagia”

Aku langsung pamit dan mengundurkan diri dari mereka. Sungguh aku merasa berat mengatakan hal itu. Bahkan aku tidak bisa memastikan diriku bisa datang atau tidak, padahal aku telah memutuskan tak ingin melihat wajah Sam lagi. Sudah cukup aku berharap padanya karena memang Sam tak bisa diharapkan lagi. Sam milik orang lain, dan aku tak mungkin lagi memilikinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini